MEKKAH - Serasa di Indonesia. Berjalan-jalan di Masjidil Haram dan sekitarnya tak perlu khawatir. Suasananya terasa benar-benar Indonesia karena banyaknya orang Indonesia, orang asing yang bisa berbahasa Indonesia, makanan Indonesia, dan simbol-simbol Indonesia.
Saya membeli sim card di sekitar Masjidil Haram. Penjualnya seorang pria separuh baya, mengunyah sirih--gigi dan sebagian bibirnya berwarna merah--berkulit hitam.
"Halo, apa kabar?" pria itu menyapa. Belakangan saya tahu, pria yang lancar berbahasa Indonesia itu ternyata orang Bangladesh.
Di outlet money exchange (begitu orang Saudi menyebut money changer, tempat penukaran uang), pelayannya seorang Arab. Eh, dia pula lancar berbahasa Indonesia. Jadilah proses menukar uang rupiah ke real Saudi berjalan lancar.
Keluar dari money exchange, sebuah papan besar dengan latar belakang warna merah mencolok bertuliskan "Restoran Indonesia".
Baru saja melongok ke dalam, dua orang anak muda tertawa girang sambil berkata, "Ayo, bakso, bakso.... Enak."
Saya menduga anak-anak muda yang riang gembira itu wong Malang atau Solo. Maklumlah, bakso enak identik dengan dua kota itu.
"Tidak, Mas. Kami dari Madura," hmmm.... Anda bisa membayangkan bagaimana logat Madura dicampur dengan logat Arab. Sedap!
Kami tinggal di hotel transit sekitar dua kilometer dari Masjidil Haram. Makanannya tiga kali sehari, masakan Sunda. Pengelola kateringnya orang Sunda.
Seorang anak muda dari Lombok saya temui di Masjidil Haram, berseragam biru tua dan memegang sapu serta alat mengepel lantai. Dialah petugas kebersihan Masjidil Haram.
Begitulah. Indonesia sangat populer di Tanah Haram. Bahkan di sebuah toko, dindingnya dihiasi bendera Merah Putih.
Penjual kaset atau CD memutar ngaji, terkadang khutbah. Eh, khutbahnya pun dalam Bahasa Indonesia.
Di sekitar Masjidil Haram saya menemukan beberapa restoran internasional. Katakanlah restoran Turki atau Pakistan. Di antara restoram-restoran itu cukup banyak restoran Indonesia.
Dapat dimaklumi bagaimana Indonesia--cita rasa maupun bahasanya--begitu populer di Tanah Haram. Setiap tahun, lebih 200 ribu jamaah haji reguler dari Indonesia melaksanakan ibadah haji. Jumlah itu belum termasuk sekitar 17 ribu jamaah haji melalui ONH Plus.
Belum lagi jamaah umrah. Setiap bulan, puluhan ribu jamaah umrah dari Indonesia. Ya, setiap bulan, kecuali di musim haji.
Itu semua sudah berlangsung sangat lama, puluhan tahun. Jadi masuk akal kalau sepotong Indonesia ada di Tanah Haram.
Sebagian orang Indonesia tidak hanya menjadi jamaah tapi juga tinggal di Saudi. Saya belum menemukan data pasti berapa jumlahnya. Seorang yang sudah lama di Saudi menjelaskan, etnis terbanyak berasal dari Madura (ya, saya teringat penjual bakso tadi).
Selanjutnya orang Banjar, lalu orang Sunda. Ada juga dari etnis Bugis maupun Makassar. Orang Bugis-Makassar bahkan pernah menjadi salah satu menteri di Saudi.
Saudi melarang warga asing membeli properti di Mekah. Walhasil, orang Indonesia hanya bisa tinggal di rumah kontrakan walaupun sebenarnya cukup banyak yang sanggup membeli rumah.
Sekiranya tidak ada larangan membeli rumah bagi warga asing, saya membayangkan Mekkah akan memiliki kawasan permukiman orang Madura, Banjar, Sunda, dan Bugis. Lalu potongan-potongan Indonesia akan bertebaran di Tanah Haram.
Indonesia menghiasai Mekkah dengan bahasa, makanan, dan orangnya. Jepang masuk melalui mobil. Seorang sopir taksi yang membawa sedan Toyota Camry menjelaskan, mobil-mobil Jepang --terutama Toyota--sangat dominan di Mekkah.
Ada juga mobil buatan Amerika Serikat, seperti Ford dan GMC, tapi jumlahnya sangat sedikit. Kapan ya, Indonesia menghiasi potongan-potongan Mekkah dengan produk berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi? Kapan ya, kita terkenal bukan sebagai TKI atau bakso?
Sumber : Dahlan Dahi dari Mekah [TRIBUNNEWS.COM]
0 komentar:
Posting Komentar