ilustrasi |
Setelah anak atau cucu laki-laki, jika perempuan menjanda, maka yang berhak jadi wali adalah anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah.
Kemudian itu barulah paman-paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dan terus ke bawah.
Selanjutnya, paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ashabah-nya dengan si maula.
Setelah itu barulah sulthan atau penguasa atau hakim. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha).
Menurut Imam Maliki dan Hanbali, orang yang berhak menjadi wali setelah ayah adalah si penerima wasiat. Jika tidak ada, maka saudara laki-laki, kakek, paman (saudara ayah), dan seterusnya.
Sedangkan Hanafi berpandangan, urutan pertama perwalian itu ada di tangan anak laki-laki perempuan yang akan menikah itu (bila dia janda dan mempunyai anak), cucu laki-laki dari pihak anak laki-laki.
Namun, jika dia masih sendiri (bujang), walinya adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah (paman), anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki, dan seterusnya.
Bila tidak ada wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim atau penguasa memiliki hak perwalian atasnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR Abu Dawud no 2083, disahihkan Syekh Nasiruddin Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud).
Inilah Urutan Wali Jika Tidak ada Ayah
- Mayoritas ulama : Kakek, kakeknya kakek, dan seterusnya.
- Maliki dan Hanbali : Si penerima wasiat, selanjutnya saudara laki-laki, kakek, paman, dan seterusnya.
- Hanafi : Kakek, saudara kandung (kakak atau adik), saudara laki-laki seayah (paman), dan seterusnya.
Sumber : ROL
0 komentar:
Posting Komentar