:
  • SELALU TERCEPAT DAN SELALU MEMAHAMI

    SELECT YOUR LANGUAGE


    Powered By Google Translate

    Menapaki Hukum Tukar-Menukar Tanah Wakaf !


    Para ulama memperbolehkan alih fungsi benda wakaf sepanjang kemaslahatannya lebih dominan.

    Sejak dulu, para ahli fikih telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pengembangan dan investasi harta wakaf. 

    Tujuannya agar aset wakaf yang begitu besar menjadi tak produktif. Terlebih, saat ini berkembang berbagai  transaksi ekonomi, termasuk di dalamnya investasi.

    Lalu muncullah ide dan wacana untuk menginvestasikan benda-benda wakaf agar lebih produktif. Harapannya, nilai kemanfaatan yang diperoleh dari aset wakaf yang begitu besar itu bisa lebih besar. 

    Berdasarkan data Badan wakaf Indonesia, tanah wakaf yang dimiliki Indonesia tersebar di 366.595 lokasi dan luasnya  2,68 miliar meter persegi.

    Dengan aset yang begitu besar, Presiden Islamic Development Bank (IDB), Ahmed Mohamed Ali, pernah menyatakan, BWI berpotensi menjadi pusat gerakan wakaf di kawasan Asia Tenggara. 

    Selama ini, sebagian umat Islam masih terjebak dengan ketentuan fikih yang kaku dalam pemanfaatan harta wakaf. Lantas bolehkah mendayagunakan aset wakaf dengan cara menukar atau mengalihfungsikannya? 

    Para ulama di Tanah Air telah membahas masalah itu dalam forum Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Padangpanjang Sumatera Barat pada 2009 lalu.

    Dalam pertemuan itu, para ulama memutuskan: Pertama, penukaran benda wakaf (istibdal al-waqf) diperbolehkan sepanjang untuk mewujudkan kemaslahatandan demi mempertahankan keberlangsungan manfaat wakaf, dan dilakukan dengan ganti yang mempunyai nilai sepadan atau lebih baik.

    ''Kedua, wakaf uang boleh diubah menjadi wakaf benda, atau sebaliknya wakaf benda boleh diubah menjadi wakaf uang,'' demikian bunyi fatwa itu.

    Syaratnya, manfaatnya lebih besar dan keadaan memaksa untuk itu. Lalu bolehkah bila benda wakaf itu dijual?

    Para ulama membolehkannya dengan syarat dan ketentuan, yakni adanya hajah untuk menjaga maksud wakif (orang yang berwakaf), hasil penjualannya harus digunakan untuk membeli harta benda lain sebagai wakaf pengganti, dan kemanfaatan wakaf pengganti tersebut minimal sepadan dengan benda wakaf sebelumnya.

    Dalam keputusannya, para ulama komisi fatwa juga memperbolehkan alih fungsi benda wakaf sepanjang kemaslahatannya lebih dominan. 

    ''Pelaksanaan ketentuan yang telah disebutkan di atas harus seizin menteri sebagaimana ketentuan perundang-undangan dan pertimbangan MUI.''

    Selaian itu, para ulama komisi fatwa pun menegaskan, nazir (pengelola wakaf) harus mengerti tugas dan tanggungjawabnya secara benar. Seorang nazir wajib menguasai norma-norma investasi. 

    Menurut para ulama, selama nazir mengikuti norma-normanya, maka kerugian investasi tidak menjadi tanggungjawabnya.

    Salah satu dasar penetapan fatwa itu adalah hadis Rasulullah SAW. ''Umar RA pernah memperoleh tanah di Khaibar kemudian datang kepada Nabi SAW.

    Umar berkata, “Aku mendapatkan tanah yang sangat bagus sekali. Apa saranmu? Nabi menjawab, ''Jika berkehendak tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasinya.”

    Umar menyedekahkan hasilnya dengan syarat tidak dijual pokoknya, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Umar bersedekah pada orang-orang fakir, kerabat, budak, sabilillah, tamu, ibnu sabil. Dan boleh bagi wali makan sekedarnya dan memberi makan pada temannya sekedarnya.


    Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwanya terkait boleh tidaknya harta wakaf dijual menjelaskan bahwa harta wakaf tak boleh dijual, jika hasilnya diambil oleh orang yang mewakafkan (wakif). 

    Sebab, harta wakaf menjadi milik Allah dan tidak dapat dijadikan obyek transaksi untuk dialihkan hak pemilikannya kepada orang lain.

    Namun, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, jika keadaan benda tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga tak terurus dan tidak bermanfaat dapat dijual atau ditukarkan dengan yang lain yang dapat digunakan dan dimanfaatkan sebagaimana tujuan wakaf semula.

    Dalam fatwanya, Majelis Tarjih dan Tajdid juga menyatakan bahwa harta yang sudah diwakafkan tak boleh dibatalkan atau dicabut kembali atau diambil kembali oleh orang yang mewakafkan maupun oleh orang lain. Harta wakaf itu tetap menjadi harta wakaf untuk selama-lamanya.

    Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar XXXI di Solo, Jawa Tengah pada 2004 juga telah menetapkan fatwa tentang wakaf. Salah satu poinnya, ulama NU meminta agar segera dibentuk institusi wakaf. 

    Sebab, NU memandang selama ini potensi wakaf belum digarap dan dikelola dengan efektif dan baik. NU juga mendesak agar pemerintah membebaskan pajak dan biaya administrasi terhadap harta wakaf. 

    Bahkan, ulama NU pun memutuskan untuk membiayai organisasi melalui hasil pengelolaan harta wakaf yang dimiliki.


    Penyusun : Lones
    Dari Artikel : ROL


    0 komentar:

    Posting Komentar