Foto : adhvara.wordpress.com |
Menghujat angin berarti hujatan atas Penciptanya.
Ada banyak fenomena alam. Beberapa di antaranya cukup bersahabat dan tidak membahayakan manusia.
Tak jarang pula, “kekuatan” alam tersebut berbalik menjadi “musuh” yang mengancam jiwa.
Ada gelombang laut besar yang menghasilkan tsunami misalnya, terdapat juga letusan gunung yang menghasilkan lahar panas atau dingin.
Dan, angin merupakan bagian dari secuil fenomena alam yang lumrah dijumpai sehari-hari. Frekuensi angin pun beragam. Bila kecil, tentu tak jadi soal.
Jika angin tersebut besar dan menghasilkan daya luar biasa, sering kali membuat repot manusia dan kerap menyisakan kerugian, baik jiwa atau materi.
Teraktual ialah badai Shandy yang melanda Amerika. Lalu, bagaimana seharusnya seorang Muslim memandang fenomena alam tersebut?
Khatib Masjid Khalid bin al-Walid Khourtum Sudan Syekh Mahran Mahir Usman menjelaskan, pada prinsipnya, angin adalah bagian dari tanda kebesaran Allah SWT.
Angin memiliki manfaat yang menunjang hajat hidup orang banyak. Misalnya, angin berfaedah dalam proses penciptaan hujan, menggerakkan perahu nelayan, dan membantu proses kawin silang pada jenis tanaman tertentu.
Karena itulah, tatkala angin berembus kencang maka hendaknya membaca doa. Inti doa itu adalah meminta kebaikan kepada Allah. Ini seperti yang tertuang dalam hadis Aisyah. Ia menjelaskan, Rasulullah kerap berdoa ketika muncul tiupan angin kencang. Rasul memohon kepada-Nya kebaikan dan berlindung dari keburukan angin tersebut.
Doa tersebut penting, mengingat sepanjang sejarah peradaban umat manusia, angin juga difungsikan sebagai salah satu bentuk siksaan. Allah membinasakan kaum Nabi Hud lewat bencana angin topan. “Dan juga pada (kisah) Aad ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan.” (QS adz-Dzaariyat [51] : 41)
Tatkala angin berembus kencang, maka hendaknya membaca doa. Inti doa itu adalah meminta kebaikan kepada Allah.
Kemudian, meningkatkan kewaspadaan. Bisa jadi angin yang berembus tersebut adalah bentuk balasan atas kesalahan atau dosa yang diperbuat umat manusia.
Aisyah pernah bertutur, bagaimana ekspresi Rasulullah ketika angin tertiup kencang. Raut muka suaminya tersebut berubah. Tampak kesan ketidaksukaan.
Ini karena potensi di balik angin itu sendiri. Tak sedikit umat terdahulu yang binasa diterjang angin.
Namun demikian, Syekh Mahran juga menekankan, sebagai Muslim tak pantas memaki atau menghujat angin. Rasul tidak memperkenankan menghujat angin. Hujatan apa pun yang dialamatkan ke angin, berarti menyasar pula ke Penciptanya. Hal ini tidak dibenarkan.
Imam Syafi’i memberikan nasihat agar tidak mencaci maki bila angin keluar dengan kencang. Menurutnya, angin tak ubahnya makhluk yang diciptakan oleh Allah. Angin hanyalah serdadu yang diciptakan sekali-kali sebagai rahmat dan di lain kali ditugaskan sebagai bencana.
Shalat jamaah
Bagaimana dengan pelaksanaan shalat jamaah di masjid kala ada angin topan, puting beliung, misalnya? Menurut Syekh Mahran, ketika fenomena alam ini terjadi maka diperbolehkan melaksanakan shalat berjamaah di rumah masing-masing hingga cuaca membaik.
Ia menambahkan, hendaknya muazin yang mengumandangkan azan—saat peristiwa alam itu tengah berlangsung—mengganti lafal ajakan mendirikan shalat, hayya alash shalah, dan seruan meraih keberuntungan, hayya ‘alal falah, dengan lafal shallu fi buutikum”, shalatlah kalian di tempat tinggal masing-masing.
Ia juga membolehkan untuk menjamak dua shalat selama cuaca angin tak beraturan itu belum reda. Ia mengutip riwayat Ibnu Abbas yang mengisyaratkan bolehnya menggabung dua shalat di luar sebab bepergian, berperang, atau hujan.
Dan, terakhir kali, Syekh Mahran, menganjurkan agar ketika berada di luar ruangan, tidak buang hajat kecil yang menghadap arah berlawanan dari arah angin berembus. Ini seperti dikutip Ibnu Quddamah, itu dilakukan untuk menghindari terperciknya najis akibat tertiup angin.
Sumber : republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar