:
  • SELALU TERCEPAT DAN SELALU MEMAHAMI

    SELECT YOUR LANGUAGE


    Powered By Google Translate

    Idhul Adha: Tradisi Berkurban di Tepi Jalan Kampung Halaman



    Agaknya sudah tumbuh menjadi tradisi. Tahun ini sudah yang ke empat kali HM. Aru Sjeiff Assadullah, Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam, memprakarsai pelaksanaan pemotongan hewan qurban di kampung halaman; “unik” dilaksanakan di trotoar—tepi—jalan raya. Seperti yang sudah, qurban dengan menggandeng saudara dan shohib yang berasal se-kampung atau se-kota.

    Pemotongan seekor sapi jantan besar “peranakan” sapi jenis Lemousin” dilakukan pada Hari Raya Tasyri’ ke dua (Minggu, 28 September 2012). Menarik, pelaksanaan pemotongan hewan dilakukan di trotoar Jalan Trunojoyo ---salah satu jalan protokol di kota Madiun, Jawa Timur--mendapat perhatian kalangan luas, bahkan sempat sedikit menimbulkan kemacetan lalu lintas, karena para pengendara harus melambatkan laju kendaraan, karena sekadar ingin tahu atau ingin melihat.

    Bukan sengaja demikian, melainkan karena keterbatasan  lokasi; rumah toko milik keluarga HM Aru Sjeiff Assadullah, memang tidak tidak memiliki halaman yang cukup luas. Berada di tepi Jalan Trunojoyo. Kawasan di sisi selatan kota Madiun yang, langsung dapat berhubungan dengan jalan menuju kota Ponoroggo-Pacitan, juga jalan menuju Magetan-Ngawi-Surakarta. Lokasi strategis, senantiasa ramai, berdekatan dengan Pasar Sleko---sebuah pasar tradisional terbesar ke dua di Kota Madiun, setelah Pasar Besar di tengah kota.

    HM. Aru Sjeiff Assadullah, lebih dari 33 tahun meninggalkan kampung halamannya. Namun sangat faham dengan kehidupan segenap warga kampung tempat kelahiran dan yang membesarkannya----yang seperti tiada perubahan. Rumah tinggalnya, di kelurahan Pandean Kecamatan Taman, Kota Madiun, Jawa Timur, dikepung keluarga-keluarga yang sebagian besar kurang beruntung, bahkan dluafa’ : fakir dan miskin. Orang tuanya, ayah (Alm) Muh. Koensyarwanie dan ibu (Alm) Hj. Siti Tiesnaliyah, senantiasa melaksanakan pemotongan hewan qurban di rumah tinggalnya, dan warga sampai harus mengantri untuk menerima pembagian daging.

    Tahun 2009, mengajak HM. Fuad Ruhuddin ‘Anamullah, adik bungsu yang tinggal di Yogyakarta untuk membangun dan menghidupkan kembali tradisi berqurban di kampung halaman yang telah lama dirintis kedua orang tuanya. Kali pertama ini, sangat mengejutkan; kendati yang dipotong hanya seekor sapi jantan, namun menjadi khabar yang menyenangkan. Tradisi keluarga ber-qurban yang terhenti sejak tahun 2001---yaitu sejak ibu Hj. Siti Tiesnaliyah wafat, kembali dihidupkan putra-putranya.

    Qurban juga menghadirkan pemandangan yang belum pernah ada sebelumnya. Karena pemotongan hewan dilaksanakan di trotoar, tepi jalan raya. Sebagai pemandangan tidak lazim. Selama ini, berqurban, senantiasa dilaksanakan di halaman masjid, mushala, sekolah dan perkantoran.

    Kali ke dua prakarsa berqurban di tepian jalan ini, tahun 2010, dilaksanakan dengan tetap menggandeng adik bungsunya. Kali ini yang dipotong ditingkatkan. Kecuali, seekor sapi ditambah dengan beberapa ekor kambing.

    Tahun lalu, pelaksanaan qurban sudah sangat ditunggu oleh warga. Kali ini, HM. Aru Sjeiff Assadullah kecuali tetap mengajak adik bungsunya, juga mendapat dukungan Eddy Sudarmawan, seorang shohib, berasal dari kampung yang sama dan kini tinggal di Jakarta. Di tempat terpisah, Muhammad Halwan, reporter Suara Islam di Jawa Timur, di rumah tinggalnya di Desa Jambangan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, bersama anak-anak dan keluarga yang selama ini hanya memotong beberapa ekor kambing, kali ini juga ditingkatkan dengan memotong satu ekor sapi.

    “Pemotongan hewan qurban, murni bertujuan untuk Si’ar Islam. Dilaksanakan di tepi jalan, bukan untuk mencari perhatian. Itu karena keterpaksaan. Karena rumah-toko, lahannya sempit, tidak mungkin untuk memotong sapi,” tandas HM. Aru.

    Kampung PII

    Idhul Adha tahun ini, prakarsa berqurban “di jalanan” kampung halaman tetap berlanjut bahkan semakin berkembang. Drs. Muhammad Yasin, mantan Direktur Indo Farma, yang tinggal di Jakarta tertarik bergabung mendukung,  disamping juga berqurban satu ekor lain yang disediakan untuk kampung asalnya; di Dusun Sembungan, Kelurahan  Rejomulyo, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun.

    HM. Aru Sjeiff Assadullah, sebelumnya merencanakan berqurban hanya bersama keponakannya---Afifah Zabaraij yang tinggal di Pelaihari, Kalimantan Selatan. Dengan bergabungnya Drs. Muhammad Yasin,  satu ekor sapi yang disediakan untuk hewan qurban di tepian jalan kali ini, dapat menjadi lebih besar. Diharapkan, pembagian daging juga menjadi semakin luas jangkauannya. Sebelum ini yang sudah terlaksana rata-rata terbagi pada 150 warga dalam empat RT. Kali ini, diharapkan dapat menjangkau lebih banyak warga dalam beberapa RT pada wilayah RW VI Kelurahan Pandean, Taman, Kota Madiun.

    Di tempat terpisah, kemeriahan Idhul Adha dengan pemotongan hewan qurban kali ini, juga tetap dapat dirasakan di Desa Jambangan, Kecamatan  Paron, Kabupaten Ngawi----kampung halaman Muhammad Halwan---Reporter Suara Islam di Jawa Timur. Terselenggara memotong satu ekor sapi di sini, mendapat dukungan dari Baftazukha Qisthi Ahaddin, putranya yang  kini tinggal di Papua.

    Bergabungnya Drs. Muhammad Yasin pada pemotongan hewan qurban di jalanan  kampung halaman kota Madiun, kemudian bermakna pula sebagai reuni.  Kala muda, Drs. Muhammad Yasin, bersekolah di SMA Negeri I Madiun.  Di kampung halamannya ---Sembungan--- tercatat bergabung dengan aktivitas Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Rejomulyo, dan bertindak sebagai ketua cabang. Dulu, kendati tidak terlalu jauh dari Kota Madiun, Rejomulyo memang masih berstatus sebagai Desa. Di era tahun 1960-an itu, di desa ini telah tumbuh sebagai “kampung PII” menjadi basis Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang dari PII Daerah Kotapradja / Kabupaten Madiun.

    Rekan satu sekolah dengan Drs. Muhammad Yasin di SMA Negeri I, yaitu Drs. H. Muhammad Zain Nasruddin Ansharullah, ketika itu menjabat sebagai Ketua Daerah PII Kotapradja / Kabupaten Madiun.  Dalam dasa warsa 1970-an; ketika terjadi  penolakkan Azas Tunggal Pancasila, sejumlah ormas---termasuk PII--- harus bertiarap dan berakibat aktivitasnya kocar-kacir. Namun di Kota Madiun, khususnya di desa Rejomulyo ini, seolah menjadi benteng terakhir,  tetap menjadi “kampung PII”, yang terkonsulidasi dengan baik. Sisa-sisa kadernya tidak berhenti beraktivitas, yang pada perkembangan di era revlormasi, berhasil membangkitkan kembali, mengambil alih posisi menjadi PII Daerah Kota Madiun hinga sekarang.

    Kunto Setyo, salah seorang kader PII yang tersisa dari angkatan tahun 1970-an mengungkap; karena azas tunggal itu, aktivitas PII tetap dilakukan, namun memang tidak secara terang-terangan. “Kendati ketika itu hanya seperti Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), namun menjadi cikal bakal untuk kebangkitan yang ke dua. Kini , sangat membanggakan, adik-adik telah mampu kembali bangkit, dengan semangat Harba (Hari Bangkit). Aktivitas adik - adik pada era kebangkitannya ke dua ini, dapat disimak lebih luas di web; piikotamadiun.weebly.com yang dikelola sendiri oleh adik-adik. Disamping juga senantiasa dapat dihubungi melalui e-mail piimadiun@yahoo.com dan face book; piimadiun,” katanya.



    Muhammad Halwan/suara-islam.com


    0 komentar:

    Posting Komentar