Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Jamaah Haji Di Kota Mekkah (oleh : ROL/Heri Ruslan) |
Mampu melaksanakan ibadah haji di
Tanah Suci dan kembali dalam keadaan sehat wal afiyat merupakan dambaan dan
cita-cita setiap kaum muslim.
Haji merupakan ibadah yang
meniscayakan terkumpulnya tiga perkara: kecukupan dana, kesehatan jasmani dan
rohani: serta tersedianya waktu/ kesempatan/momentum. Sehingga ketiga-tiganya
hendaknya dipelihara dengan baik sejak dari masa keberangkatan hingga
kepulangan.
Berbahagialah para jamaah haji
yang dapat melaksanakan rukun Islam kelima dengan lancar dan khusu'. Selamat! Anda telah meraih haji mabrur,
sehingga Allah SWT pada saatnya nanti insyaallah akan memenuhi janji-Nya dengan
memberikan balasan berupa surga.
Namun, mabrurnya ibadah haji
sesungguhnya bukan hanya terletak pada pelaksanaan, melainkan juga masa-masa
sesudah pelaksanaan. Apakah konsistensi dalam beribadah, berdoa, dan bertawakal
selama haji masih dilakukan pada saat pulang ke Tanah Suci?
Apakah hikmah yang didapatkan
dalam ibadah haji memberikan pengaruf positif bagi ibadah-ibadah lainnya?
Apakah pelaksanaan rukun Islam yang terakhir ini menjadikan jamaah semakin
khusyuk dan paripurna dalam amal ibadah lainnya?
Secara umum, kualitas kemabruran
haji dapat dinilai dalam beberapa hal. Pertama, konsistensi dalam memelihara
niat yang baik dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Niat baik ini sama
dengan niat haji yang semata-mata dilakukan karena Allah SWT dan bukan karena
manusia. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal itu tergantung pada
niat." (HR. Bukhari-Muslim).
Kedua, konsistensi memelihara
diri dalam kesucian (ketakwaan) dan ketegaran. Dua pilar ini merupakan hasil
yang didapatkan para hujjah setelah melakukan sa’i yang senantiasa dimulai dari
Shafa (berarti kesucian) dan Marwa (ketegaran). Allah SWT berfirman,
"Sungguh, Shafa dan Marwa merupakan sebagian dari syiar Allah." (QS.
Al-Baqarah: 158).
Ketiga, konsistensi berada dalam
lingkaran tauhid dan lingkaran ketuhanan dalam menjalani kehidupan. Sikap ini
merupakan falsafah thawaf yang senantiasa berlomba-lomba berada dalam lingkaran
ketuhanan bersama orang-orang saleh dan menyegerakan diri dalam kebajikan (QS.
Al Hajj: 26).
Keempat, memiliki kemampuan yang
besar dalam menjauhkan diri dari perbuatan buruk dan tercela, tidak mengulangi
keburukan masa lalu karena hal tersebut merupakan salah satu tanda ibadah
hajinya diterima Allah SWT (QS. Al-Maidah: 93).
Kelima, memiliki kemampuan yang
besar untuk lebih zuhud dalam urusan dunia dan senantiasa mengharap kepada
Allah dalam urusan akhirat. Hal yang sama telah dilakukan sepanjang perjalanan
menuju medan haji, di medan haji dan proses kepulangannya ke Tanah Air. Allah
SWT berfirman, "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan
ihlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama." (QS.
Al-Bayyinah: 5).
Keenam, memiliki kemauan yang
besar untuk lebih banyak memberi dan berbagi kepada karib kerabat dan
masyarakat sekitar.
Hal tersebut karena disunahkan
bagi yang selesai menjalankan ibadah haji antara lain: untuk memberi tahu
jadwal kedatangan, memberikan hadiah kepada anak-anak dan kerabat, shalat dua
rakaat di masjid sebelum tiba di rumah, menerima doa dan mendoakan karib
kerabat serta tetangga yang mengunjunginya, dan banyak membantu kaum
fakir-miskin. Wallahu a'lam.
Sumber : Republika.co.id (RoL)
0 komentar:
Posting Komentar