Manila - Sesudah empat dekade (40 tahun) perang tercapai "perdamaian" antara bangsa Muslim Moro di Selatan dengan pemerintah Katolik di Utara, yang dimediasi (diperantai) oleh pemerintah Malaysia. Apakah perjanjian damai dengan pemberian otonomi Muslim Moro di Selatan, berarti akan mengkahiri perang antara Selatan dan Utara?
Selama ratusan tahun Muslim Philipina merupakan entitas yang mendiami wilayah yang sangat luas, baik di Selatan dan Utara. Sampai datanglah penjajah Eropa (Portugis) menjajah wilayah itu, dan kemudian melakukan "pemurtadan" Muslim di wilayah itu.
Selanjutnya, Utara bukan hanya menjajah dan melakukan pemurtadan, tetapi mereka mengusir penduduk Muslim di Utara, dan menguasai wilayah itu, sampai Muslim hanya terkotak di Selatan. Mereka bertahan di sautu wilayah di Selatan, dan berjuang mempertahankan wilayah itu.
Gerakan mereka dengang menggunakan militer melawan pemerintah Utara, sampai menghabiskan energi pemerintah Utara, termasuk campur tangan militer Amerika Serikat, yang terlibat langsung dalam perang di wilayah itu.
Lembaga-lembaga internasional, diantara Organisasi Konferensi Islam, berulang kali menjadi mediator, dan ingin mengakhiri perang di Selatan, tetapi selalu gagal. Kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan, dan tuntutan Selatan selalu menginginkan kemerdekaan, dan menolak dibawah kekuasaa Utara yang Katolik. Utara menolak pemberian kemerdekaan, dan menginginkan Selatan tetap dibawah dominasi Utara.
Kasus yang dihadapi oleh Bangsa Moro di Selatan Phillipina itu, berbeda dengan Timor Timur, Sudan Selatan, atau Bosnia Herzegovia, di mana pihak Barat langsung melakukan campur mendukung kemerdekaan di wilayah itu. Melalui referendum. Bangsa Moro melakukan referendum, dan mayoritas mereka menginginkan sebagai negara berdaulat. Tidak lagi dibawah pemerintah di Utara. Tetapi, aspirasi Muslim Moro di Selatan itu, tak pernah mendapat rerspon dari dunia internasional secara positif.
Sekarang skenario yang diberikan kepada Muslim Moro di Selatan itu, yaitu sebuah otonomi yang luas, sebagai langkah mengakhiri perang yang sudah berlangsung selama empat dekade.
Dengan perjanjian damai, dan Utara tetap pada sikapnya, yang hanya memberikan otonomi kepada Muslim Moro, maka nasib Moro tak berbeda dengan bangsa Muslim Kashmir, yang sampai hari masih berada di bawah kekuasaan rezim Hindu India. Dengan segala implikasi hukum dan politiknya.
Presiden Benigno Aquino dan Murad Ebrahim, Pemimpin Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang menjadi wakil delegasi satu-satunya Muslim Moro, akhirnya menyetujui kerangka perjanjian damai dengan fihak Utara.
Murad lah yang pertama kali melakukan pertemuan dengan Presiden Aquino di Istana Malacanang, Manila. Sembari menyerahkan cindera mata kayu pemukul "gong" kepada Aqiuno, sebagai tanda perdamaian. "Ini adalah suara perdamaian," kata Murad, usai memukul gong, di depan Aquino.
Murad melakukan pertemuan keduakalinya dengan Aquino sejak awal Agustus 2011. Sebelumnya, Murad telah melakukan pembicaraan yang bersifar rahasia dengan Aquino di Tokyo, yang kemudian menjadi titik balik perundingan menuju sebuah perjanjian damai, di mana perundingan perdamaian itu, berjalan selama 15 tahun, dan selalu gagal mengakhiri konflik antara Selatan dan Utara.
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, yang memawakili pemerintah Malaysia, yang menjadi fasilitator perundingan antara fihak Muslim Moro di Selatan dengan fihak Utara Maret 2001, ikut hadir pada penandatanganan damai itu.
"Banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam rangka menindaklanjuti kerangka perjanjian itu. Kami memiliki komitmen untuk memenuhi, hasil perjanjian, dan untuk mewujudkan impian perdamaian", ujar Aquino di Istana Malacanang.
"Kami berkomitmen agar memungkinkan mitra kami untuk mengubah diri menjadi partai politik, dan menjadi gerakan politik, dan membantu memfasilitasi transisi di wilayah itu menuju kehidupan damai dan progresif," katanya.
Aquino diharapkan dapat mengeluarkan perintah eksekutif segera untuk membentuk komisi transisi yang beranggotakan 15 orang tokoh, yang akan merumuskan undang-undang baru sampai pada tahun 2015, yang akan menciptakan pemerintahan lokal baru Muslim untuk "Bangsamoro".
"Bangsa Moro" mungkin nantinya akan seperti wilayah Aceh yang mendapatkan otonomi khusus dari pemerintah pusat di Jakarta, sesudah Aceh ditetapkan sebagai daerah operasi DOM ( Daerah Operasmi Militer), selama pemerintahan Soeharto.
Kemudian, sebuah plebisit akan diselenggarakan di daerah yang didominasi Muslim di Selatan yang akan menentukan bentuk pemerintahan baru bagi Bangsamoro.
Pemerintah otonom baru akan memiliki kekuatan politik yang lebih luas, termasuk pembagian yang lebih atas sumber alam yang lebih besa, kontrol atas sumber daya, termasuk mineral, minyak dan gas alam oleh Muslim Moro atas wilayah Selatan. Mata Uang, layanan pos, pertahanan dan kebijakan luar negeri akan tetap berada di bawah pemerintah pusat di Utara (Manila).
Perjanjian itu tidak memberikan rincian tentang pengaturan pembagian kekuasaan antara pemerintah nasional dan Bangsamoro dengan pemerintah Utara. Perjanjina aitu, juga akan memberikan jaminan hak-hak Muslim Moro dan non-Muslim, seperti kesepakatan 2008 yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung sebagai inkonstitusional.
Nur Misuari, pendiri dan pemimpin kelompok Muslim, Front Pembebasan Nasional Moro, yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan pemerintah pada 1996, mengatakan MILF "menandatangani hukuman mati". Perjanjian damai itu, dipandang oleh Nur Misuari sebagai langkah yang mengakhiri perjuangan bagi Muslim Moro, melawan pemerintah Utara.
Sebaliknya, "Ribuan pejuang MILF meninggalkan organisasi itu, karena mereka tidak mau menyerahkan senjata mereka," kata Misuari dalam sebuah wawancara radio. Memang, perdamaian dengan melucuti senjata para pejuang Moro, berarti menyerahkan leher Muslim kepada pasukan Salib di Utara, yang akan dengan sangat mudah menghancurkan Muslim Moro.
Sementara itu, kesepakatan tentang peletakkan senjata oleh para pejuang Muslim MILF, pemerintah mengatakan pasukan Muslim tidak akan secara otomatis berubah menjadi kepolisian. Jadi dengan perjanjian damai itu, hakekatnya melucuti senjata para pejuang Moro, dan kemudian Muslim Moro, berada di bawah keamanan Utara.
Kaum Muslim juga ingin demobilisasi lebih luasi dan perlucutan senjata para pejuang Moro, yang jumlah pasukannya sekarang memiliki kekkuatan pasukan reguler sebanyak 115.000 yang menyebar di wilayah Selatan. Perjanjian damai antara Selatan yang diwakili Murad dan Utara yang diwakili Presiden Aquino, secara politik dan militer lebih menguntungkan Utara.
Hakikatnya, perjuangan yang dilakukan oleh Mukmin, bukan hanya mereka mendapatkan kekuasaan berupa otonomi, atau pemerintahan yang berdaulat semata. Tetapi, perjuangan yang harus dilakukan dan dipikul oleh setiap pejuang (mujahid) membebaskan seluruh umat manusia dari penghambaan kepada sesama manusia, sampai mereka hanya menyembah kepada Allah Rabbul Alamin semata.
Bersedia berdamai dengan orang-orang kafir, sementara masih terus berlangsung terjadinya perbudakan manusia oleh manusia, dan tidak tegaknya hukum-hukum Allah, itu berarti kekalahan bagi Mukmin. Kemenangan perjuangan itu, tidak ada sama korelasinya dengan bentuk kekuasaan, harta, pangkat, jabatan, dan bahkan perempuan yang cantik.
Kalau Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, tujuannya dakwahnya bukan untuk membebaskan seluruh umat manusia dari menyembah sesama manusia atau makhluk yang lainnya hanya kepada Allah Rabbul Alamin semata, maka Rasulullah sudah berhenti berdakwah ketika mendapatkan tawaran dari Abu Sufyan, pemuka Qurays, yang menawarkan tahta, harta dan wanita.
Tahta, harta, dan wanita, itu semuanya bukan tujuan dan misi kehidupan seorang mukmin. Misi kehidupan seorang mukmin, tak lain mengajak seluruh manusia hanya beribadah dan menyembah serta mentauhidkan Allah Azza Wa Jalla semata. Sampai tidak ada lagi fitnah dimuka bumi ini yang dilakukan oleh orang-orang kafir musyrik Yahudi-Nasrani. Wallahu'alam.
Sumber : voa-islam.com
0 komentar:
Posting Komentar