ilustrasi |
Oleh: Makmun Nawawi
Lukman al-Hakim berwasiat kepada anaknya, “Duhai anakku, jangan lah kau jadikan hatimu ter paut dan tergantung pada simpati, pujian, dan makian manusia. Karena, hal itu tak akan bisa diraih sekalipun manusia berupaya keras untuk menggapainya sesuai dengan kemampuan maksimalnya.”
Sang anak kemudian meminta ayah nya memberikan contoh nyata yang bisa dilihatnya sendiri dari pesan tersebut.
Keduanya keluar bersama hewan tunggangan. Lalu, Lukman menaikinya dan membiarkan anaknya berjalan di be lakangnya. Kemudian keduanya mele wati suatu kaum dan mereka pun berkomentar. “Ini orang tua keras sekali hatinya, sama sekali tak punya belas kasihan, ia menaiki kendaraan, padahal ia lebih kuat dari anaknya, sementara anaknya dibiarkan berjalan di belakang nya. Ini penataan yang jelek.” Lukman pun berucap kepada anaknya. “Kamu dengar ucapan dan penolakan mereka terhadapku yang menaiki hewan dan membiarkanmu berjalan?” Lukman kemudian meminta anaknya menaiki keledai itu.
Begitu melintasi masyarakat yang lain, mereka berkata, “Ini orang tua dan anak jelek sekali kelakuannya. Mengapa orang tua itu tak mendidik anaknya sehingga ia sendiri enak naik kendaraan, sedangkan ayahnya dibiarkan berjalan di belakangnya. Padahal, orang tua lebih berhak untuk dimuliakan dengan memberinya kesempatan naik ken daraan. Anak itu sungguh durhaka kepada orang tuanya.”
Mendengar ucapan itu, Lukman pun mengingatkan anaknya untuk tetap mendengarkan pendapat masyarakat atas perbuatan mereka. Ingin mendapatkan perkataan yang lain, Lukman dan anaknya lalu bersama-sama menaiki keledai itu. Mereka pun melewati suatu kaum. Tak lama berselang, kembali muncul perkataan menyindir Lukman dan anaknya.
“Kedua penunggang hewan ini sama sekali tak punya belas kasihan dan tiada kebaikan dari Allah sedikit pun pada keduanya. Seekor hewan dinaiki dua orang, sungguh sangat membebani dan dapat menyakiti hewan tunggangan itu. Padahal, jika yang satu naik, lalu yang satunya lagi berjalan, itu lebih baik dan lebih punya rasa kasihan,” ujar kaumnya. Lukman pun kembali bertanya kepada anaknya, “Kamu dengar ucapan mereka?”
“Ya,” jawab anaknya.
“Kalau begitu, mari kita biarkan hewan itu berjalan sendiri dan tidak kita tunggangi.” Keduanya menuntun hewan tersebut dengan diapit di antara keduanya. Dan ketika melalui suatu kaum, mereka pun berkata, “Aneh sekali kedua orang ini. Mereka biarkan hewan itu berjalan sendiri tanpa penumpang dan keduanya pun berjalan kaki.”
Mereka semua mengecam tindakan Lukman dan anaknya itu, sebagaimana keduanya menerima kecaman dari masyarakat yang dijumpai sebelumnya. Lukman berkata kepada putranya.
“Kamu lihat, bagaimana hasrat untuk meraih simpati manusia itu sebagai suatu keinginan yang absurd dan mustahil? Maka, janganlah kamu menoleh dan bergantung kepada mereka, tapi sibukkanlah dirimu dalam me raih rida Allah. Karena, di dalamnya ada aktivitas yang efektif, ada kebahagiaan dan penerimaan, baik di dunia maupun di saat hari perhitungan dan pertanyaan.”
Sumber : republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar