Surabaya - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan ihtiar
mengelola "heritage" (warisan budaya) di Kota Pahlawan itu cukup berat
tantangannya.
"Mengelola heritage itu cukup berat karena
ada kepentingan ekonomi, masyarakat, dan kepentingan melestarikannya,"
kata Risma saat menjadi pembicara seminar dalam Kongres II Jaringan Kota
Pusaka Indonesia (JKPI) di Hotel Mojopahit Surabaya, Selasa.
Menurut dia, adanya beberapa kepentingan tersebut membuat
pengelolaan bangunan cagar budaya di Surabaya menjadi tersendat, karena
jika memprioritaskan kepentingan ekonomi, maka itu akan berbenturan
dengan kepentingan masyarakat dan keinginan Pemkot untuk melestarikan
bangunan cagar budaya.
Risma mengatakan dengan adanya
pertemuan JKPI II yang anggotanya terdiri dari kepala daerah di 48
kota/kabupaten di Indonesia ini, diharapkan bisa saling berbagi
pengalaman dan informasi seputar pengelolaan "heritage" di daerahnya
masing-masing.
"Minimal kita bisa tahu, solusi untuk mengatasi masalah itu," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, diharapkan juga bisa mengetahui adanya
solusi bagi daerah-daerah yang mempunyai keterbatasan keuangan dalam
mengelola bangunan-bangunan bersejarah.
"Ini juga sebagai kekuatan untuk mengusulkan ke pemerintah pusat agar bisa membiayai situs-situs budaya," katanya.
Selain itu, ia menambahkan untuk mempermudah melakukan
konservasi bangunan-bangunan cagar budaya yang dimiliki perorangan.
Pemkot Surabaya memberikan intensif, seperti memberikan keringanan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB).
"Keringanan pajak seperti
mendapatkan potongan PBB bagi bangunan cagar budaya. Kita sudah
menuangkan aturan tersebut melalui Perda Nomor 10 Tahun 2012 tentang
PBB," jelasnya.
Sementara itu, pembicara lainnya yang
juga berprofesi sebagai arsitek, Budi Sukandar mengatakan bahwa teknik
pemugaran sebuah kawasan atau bangunan cagar budaya, perlu mengetahui
sejarah kawasan maupun bangunan tersebut.
"Kemudian, baru melangkah pada kawasan ini atau bangunan di renovasi atau dikonservasi," katanya.
Menurut dia, ada dua kategori pemugaran yakni kawasan dan
benda. Juga diperlukan lima landasan ketika melakukan pemugaran yakni
dilihat otentik, orisinil, langka, landmark, memiliki gaya yang mewakili
periode tertentu.
"Kita juga perlu mengetahui gaya bangunan di kawasan yang akan di konservasi atau direnovasi," terangnya.
Pembicara yang lain, yakni Yunus Satrio Atmojo yang menjabat
sebagai Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengungkapkan kekagumannya
terhadap langkah-langkah yang dilakukan Wali Kota Surabaya, Tri
Rismaharini, dalam mengajak warga Kota Surabaya peduli terhadap kotanya.
"Memelihara kota bukan sekadar menata infrastruktur, tetapi
mengelola manusia dan aktivitas mereka. Masih banyak kota lama di
Indonesia yang masih belum mendapatkan perhatian secara maksimal, sebab
kota lama ini merupakan salah satu bukti kebudayaan kala bangunan ini
pertama kali dibangun," katanya.
Yunus melanjutkan bahwa
peran Pemerintah Daerah mempertahankan identitas kota. Dilakukan dengan
memelihara ingatan kolektif, mempertahankan ikatan sejarah, menjaga
hubungan batin penduduk dengan ruang hidup mereka, dan mengangkat
martabat penghuni kota.
"Supaya kota tidak 'jompo', maka
hendaknya mengatur kecepatan perubahan yang tidak memarjinalkan
penduduk," ujarnya. (*)
Penulis : Abdul Hakim
Sumber : antarajatim.com
0 komentar:
Posting Komentar