Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah Mengenai Kalam Allah Ta’ala
Ahlus sunnah wal jama’ah telah sepakat bahwasanya Allah Ta’ala memiliki sifat berbicara/berfirman. Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa lafadz (ucapan) dan memiliki makna. Bukan hanya lafadz yang tidak memiliki makna, atau makna saja tanpa lafadz(1). Para salaf telah sepakat bahwa penetapan sifat Al-Kalam bagi Allah dengan tanpa mengubahnya, menolaknya, menggambarkan tata caranya, serta tidak memisalkannya(2).
Kalam Allah adalah sifat yang haqiqi yang ditetapkan selayaknya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan terdiri dari huruf dan suara, dengan cara yang dikehendaki-Nya, kapan Dia berkehendak, dan dapat didengarkan oleh siapa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Musa ‘alaihis salam mendengarnya tanpa perantara, begitu juga Jibril ‘alaihis salam dan para malaikat serta rasul yang Allah Ta’ala izinkan untuk dapat mendengarkannya(3). Dalil-dalil yang menunjukkan akan hal ini terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah, diantaranya (4):
وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb-nya telah berfirman (langsung) kepadanya (Musa) “ (QS. Al-A’raf: 143)
Ayat di atas menjadi dalil bahwasanya Kalam Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa Kalam Allah ditujukan kepada individu tertentu, bukan kepada yang lain, sesuai dengan yang Dia Kehendaki.
إِذْ قَالَ اللهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
” (Ingatlah), ketika Allah berfirman: Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku “ (QS. Ali Imran: 55)
Ayat di atas berisi perkataan Allah Ta’ala kepada ‘Isa ‘alaihis salam yang menunjukkan bahwa Kalam Allah adalah huruf, karena suatu perkataan yang bisa didengar pasti di dalamnya terdiri dari huruf.
وَنَادَيْنَاهُ مِن جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَاهُ نَجِيّاً
“Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami untuk bercakap-cakap. “ (QS. Maryam: 52)
Ayat ini menunjukkan bahwa Kalam Allah berupa suara, sebagaimana dipahami oleh akal bahwa nida’ (panggilan dengan suara keras) dan munajat (ucapan dengan nada lembut) pasti berupa suara yang dapat didengar.
Dalil dari as-sunnah diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Unais dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
يحشر الله الخلائق يوم القيامة عراة حفاة غرلا بهما فيناديهم بصوت يسمعه من بعد كما يسمعه من قرب : أنا الملك أنا الديان
(رواه أحمد والبخاريّ)
“Allah mengumpulkan para makhluk pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, tanpa alas kaki, belum dikhitan, dan tidak berpakaian, kemudian Allah memanggil mereka dengan suara yang terdengar oleh orang yang jauh, sebagaimana orang yang dekat mendengarnya: “Sayalah Sang Raja, Sayalah Yang Membuat Perhitungan. “ (HR. Ahmad & Al-Bukhari)
Kalam Allah adalah sifat dzatiyyah ditinjau dari segi jenisnya, artinya sejak dulu Allah memliki sifat berfirman, meskipun Allah belum berfirman kepada Musa atau makhluk-Nya yang lain. Dan sifat berfirman bukan merupakan suatu hal yang baru terjadi setelah sebelumnya tidak ada. Di samping itu, Kalam Allah juga merupakan sifat fi’liyyah ditinjau dari segi kekhususan Allah berbicara dengan makhluk-Nya yang Dia kehendaki, dimana sebelumnya Allah tidak berbicara kepadanya(5).
Al-Qur’an adalah Kalam Allah
Sifat tidak mungkin terpisah dari pemilik sifat. Karena Kalam Allah merupakan salah satu sifat Allah maka kalam Allah tidak terpisah dari Allah. Karena itu, sifat Allah bukan makhluk. Al-Qur’an yang agung adalah termasuk Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena itu Al-Quran bukan makhluk. Kita wajib meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah Ta’ala dan bukan makhluk ciptaan-Nya. Pembenaran kita akan hal ini merupakan bagian dari iman kepada Allah yang merupakan rukun iman yang pertama(6).
Dalil mengenai Al-Qur’an adalah Kalam Allah adalah
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,” (QS. At-Taubah: 6)
Dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah sesuatu yang diturunkan adalah
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan .” (QS. Al-Qadr: 1)
Syaikh Muhammad bin Shalih dalam kitabnya Tafsir Juz ‘Amma menjelaskan, salah satu keistimewaan Lailatul Qadr yaitu malam dimana Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan kebahagiaan mereka di dunia maupun akhirat(7).
Dalil bahwa perintah (amr) itu dibedakan dengan makhluk (bukan makhluk).
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ
“Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya” (Al-A’raf:54)
Al-Qur’an termasuk dari perintah (amr) Allah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami.” (As-Syuura: 52)
Al-Qur’an sebagai tali Allah yang kokoh, disampaikan melalui perantara rasul untuk menyampaikan apa yang dikehendaki Allah terhadap makhluk-Nya, dan sebagai jalan hidup yang lurus. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Rabb semesta alam melalui malaikat yang terpercaya kepada penghulu para nabi, yaitu Muhammad shallallahu‘alaihi wa sallam dengan menggunakan bahasa Arab yang dapat dipahami(8). Malaikat Jibril ‘alaihis salam hanya membawa Al-Quran turun dari sisi Allah Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an(9):
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu” (An-Nahl: 102)
Al-Qur’an kembali kepada Allah, yaitu sifat Al-Kalam berupa Al-Qur’an kembalinya kepada Allah Ta’ala. Dialah al-mutakallim bil Quran (yang berfirman dengan Al-Quran). tidak ada seorangpun selain Allah yang disifati demikian.
Walaupun manusia menulis dan mencetak Al-Qur’an dalam bentuk mushaf, atau menghafalnya dalam dada-dada mereka, atau membacanya dengan lisan-lisan mereka, maka hal tersebut tidak mengeluarkan hakikat Al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Hal ini dapat dipahami karena suatu perkataan pada hakikatnya dinisbatkan kepada siapa yang mengucapkannya pertama kali, bukan dinisbatkan kepada siapa yang menyampaikan selanjutnya(10).
Kembalinya Al-Qur’an kepada Allah juga memiliki makna bahwa Al-Qur’an akan diangkat kepada Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan di beberapa atsar bahwa Al-Qur’an akan hilang dari sebagian mushaf dan dada-dada manusia pada akhir zaman. Hal yang demikian terjadi –wallahu a’lam- ketika manusia sudah berpaling dari Al-Qur’an dan tidak mengamalkannya, maka Allah mengangkatnya dari mereka sebagai bentuk pemuliaan terhadap Al-Qur’an, wallahul musta’an(11).
–bersambung insyaallah–
Penulis: Ummu ‘Ubaidillah Nirmala Ayuningtyas
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
(1) Fathu Rabbil Bariyyah, bi talkhiishil hamawiyyah, hal.66
(2) Syarh Lum’atul I’tiqaad Al-hadii ila sabiilir rasydi, hal.41
(3) Syarh Lum’atul I’tiqaad Al-hadii ila sabiilir rasydi, hal.40-42
(4) Fathu Rabbil Bariyyah, bi talkhiishil hamawiyyah, hal.65-66
(5) Fathu Rabbil Bariyyah, bi talkhiishil hamawiyyah, hal.65
(6) Syarh Al ‘Aqidah Al –Wasithiyyah, hal.345
(7) Tafsir Juz ‘Amma, hal.548
(8) Syarh Lum’atul I’tiqaad Al-hadii ila sabiilir rasydi, hal.45
(9) Syarh Al ‘Aqidah Al –Wasithiyyah, hal.346
(10) Syarh Al ‘Aqidah Al –Wasithiyyah, hal.348
(11) Fathu Rabbil Bariyyah, bi talkhiishil hamawiyyah, hal.69
0 komentar:
Posting Komentar