ilustrasi |
Manusia adalah makhluk yang begitu istimewa di bumi ini. Bagaimana tidak, mengenal posisinya sebagai wakil Allah di dunia seakan-akan menunjukkan bahwa adalah peran mereka yang begitu besar untuk membina daratan, laut bahkan udaranya menjadi sesuatu yang sebetulnya dihadirkan sebagai fasilitas mewujudkan kebermanfaatan. Sehingga hal inilah yang demikian adakalanya membuat diri mereka seakan-akan lebih tinggi, kadangkala pula sayangnya begitu tinggi untuk lupa mengingat seperti apa derajatnya yang semestinya, begitu tinggi untuk lupa mengingat sebetulnya apa dan siapa diri mereka. Keadaan ini yang disebut dengan kondisi di mana seorang manusia lupa memanusiakan dirinya.
Tapi beruntung, tidak sedikit dari semuanya ada yang sudah sejak dini kepahaman telah dibenamkan dalam sanubari iman mereka, tentang apa yang ada di dalam hidupnya dan apa yang ada di dalam dirinya, semua sejatinya bukanlah miliknya. Karena mereka lebih dari tahu, bahwa manusia itu tidak memiliki hak kepemilikan atas sehelai sesuatupun yang ada pada dirinya. Inilah yang disebut suatu perbedaan antara mereka yang mengerti dengan yang tidak mengerti.
Begitu indahnya Allah menyelenggarakan hidup kita. Diciptakannya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, benar-benar tidak ada yang sama. Bahkan meskipun ada yang menyebutkan istilah kembar, boleh jadi itu di luar tubuh tapi tidak dengan apa yang di dalam dada. Diciptakan beragam antara warna satu dengan warna yang lainnya, antara sifat satu dengan sifat yang lainnya, juga antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya. Artinya sejak awal kita sudah diajarkan pada satu hal yaitu mengenal adanya perbedaan.
Kemudian kita juga ditunjukkan bagaimana malam bisa dipasangkan dengan siang, mereka tidak pernah berebut jadwal di langit. Juga ketika awan bisa dipasangkan dengan hujan, di mana belum pernah ditemukan ada hujan yang datang tanpa dikabarkan oleh awan. Bahkan pesisir yang kering bisa dipasangkan dengan ombak yang basah, mereka juga tidak pernah berusaha saling berseteru menghabiskan tempat satu sama lain. Semua jelas mengajarkan dibalik seluruh perbedaan ada Zat Maha Tunggal yang sedang mengatur dan menghidupi kehidupan ini sehingga bisa jadi demikian harmonis.
Saya ambil contoh secarik cerita tentang Nabi Sulaiman As yang meminta kepada Allah SWT untuk mencoba menanggung rezeki berupa makanan makhluk-Nya yang ada di seluruh dunia. Menarik memang, mengingat betapa luar biasanya kerajaan yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman As. Kala itu beliau memerintahkan bala tentaranya yang berjumlah besar bahkan dari kalangan jin maupun manusia untuk mengumpulkan makanan yang luar biasa banyak jumlahnya di sebuah lahan yang begitu luar biasa luas. Makanan-makanan itu tidak lain dan tidak bukan memang sengaja dipersiapkan untuk memenuhi hasrat lapar seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Namun cantiknya, kisah ini kemudian diakhiri dengan begitu sempurna dalam sujudnya Nabi Sulaiman atas ketakjuban dalam ketaklukannya ketika mengetahui makanan yang baginya sudah begitu luar biasa besar dan disiapkan dengan waktu yang tidak sebentar itu ternyata hanya mampu mencukupi kebutuhan makhluk Allah yang ada di dalam air untuk sekali makan, belum yang ada di langit, apalagi yang di darat. Tidak salah akhirnya bila ada kesimpulan yang mengatakan, bagaimanapun juga rezeki memang tidak dapat dihitung dengan angka-angka milik manusia. Sekali lagi akan selalu ada Zat Maha tunggal yang mengatur itu semua.
Mendidik yang Paling Dekat
Dalam berjalannya proses kehidupan manusia, siapa gerangan guru yang paling dekat dengan kita kalau bukan diri ini sendiri dan siapa pula murid yang paling pertama kita ajari kalau juga bukan diri ini sendiri. Maksudnya, kita terkadang harus menyadari bahwa kita butuh untuk memaksa diri ini agar bisa menjadi tauladan yang bisa dicontoh, ditiru, dipelajari bahkan oleh diri kita sendiri. Bayangkan seandainya hal itu tidak dapat terjadi, sudah cukup banyak orang yang ingin berubah, tapi itu tidak pernah terjadi karena ia tidak sanggup menimbulkan dorongan-dorongan untuk membangun kesempatan, cara dan tindakan menuju perubahan, mereka cenderung melihat diri ini hanyalah seonggok daging tanpa harga kapasitas yang pantas. Mereka menyebut diri menerima kenyataan, padahal sebetulnya sedang terjebak pada tidak mau merubah keadaan.
Jadi, pentingnya mengetahui diri kita sebagai guru privat pribadi adalah untuk menyadari bahwa ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang luar bisa di dalam diri kita, ada kemampuan ketauladanan dan menjadi tauladan yang baik pada diri kita, juga banyak hal lain lebih dari itu. Artinya, belajar dari guru yang itu adalah dirimu sendiri, adalah saat di mana engkau diminta untuk menjelajahi dirimu, sadari dan tingkatkan kepercayaan atas kemungkinan bahwa engkau melihat gurumu yang itu adalah dirimu sendiri yang memang dilahirkan untuk bisa menjadi seorang tauladan. Lalu tanpa terlepas dari itu semua, di mana kiranya kita meletakkan Allah SWT dalam proses pendidikan kita? Sederhananya, Allah SWT lebih dari sekadar guru dan lebih dari sekadar dekat.
Beralih pada persoalan murid. Betul memang rasanya kita lebih bisa menerima ketika orang lain menyebut kita sebagi seorang guru. Tapi juga harus diingat, orang pertama yang harus dibimbing itu sebetulnya adalah diri kita sendiri. Mengajari diri sendiri untuk lebih mampu berawal dari memiliki ilmu. Ada sebuah keistimewaan dalam mempelajari ilmu, sebagaimana yang tersuratkan indah dalam firman Allah “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujâdilah [58]: 11). Dengan ilmu kita bisa menjaga diri kita, dengan ilmu pula kita bisa menyibak tabir antara mana yang haq dan bathil. Jangan jauhkan ilmu itu dari kehidupanmu, karena Islam telah begitu mendidik kepada kita tentang betapa berharganya ilmu. Lihat saja dari fakta sejarah yang ada, betapa Islam itu tumbuh dengan semerbak dalam peradaban-peradaban yang dihiaskan ilmu pengetahuan. Maka mari dari ilmu itu kita mempelajarinya, mengamalkannya dan mengajarkannya. Terutama didahului dengan mengajarkannya pada diri kita sendiri. Karena saya juga menyadari betapa mudah rasanya menunjuk seseorang dan mengingatkannya, ketimbang menunjuk diri ini sendiri dan mengingatkannya. Dorongan yang dilahirkan sungguh berbeda. Dorongan mengingatkan orang dibandingkan dengan dorongan untuk mengingatkan diri sendiri. Seandainya kita tidak keras terhadap diri ini, maka dunia akan begitu keras terhadap kita.
Lembaran yang Begitu Utuh
Izinkanlah dalam tulisan ini penekanan mulai tampak pada persoalan kecerdasan yang sepatutnya dimiliki oleh insan manusia pada umumnya. Apapun bentuknya, di antaranya yang terkait pada kepribadian. Tentang sebuah kecerdasan yang mendorong kita untuk senantiasa mencari tafsir atas segala sesuatu yang terjadi pada kehidupan ini.
Pernah dikemukakan di hadapan publik, betapa manusia memiliki beragam bentuk kecerdasan dan di antaranya adalah kecerdasan untuk menjelajahi diri sendiri. Nah, Sudahkah kita bertamasya ke dalam pikiran dan hati kita? Itu pertanyaan mudahnya. Jauh hari orang sudah mengenal istilah passion atau bisa juga disebut dorongan hidup. Mereka sudah biasa mendengar dan mengenal istilah itu tapi tidak pernah tahu semacam apa bentuknya. Mereka sering menyebutkan ada sesuatu yang bergelora dalam jiwa mereka tapi tiba-tiba kehabisan kalimat ketika ditanya bagaimana mematik apinya juga mengarahkan nyalanya. Lebih dari itu, mereka sering mengatakan ingin berubah tapi mereka tidak tahu caranya, dan apa yang harus dirubah. Kekhawatiran bisa saja timbul, karena jangan-jangan apa yang senantiasa kita lakukan untuk perbaikan, yang senantiasa kita perjuangkan untuk merubah hidup, nyatanya harus ditutup perumpamaan ibarat kita yang setiap hari sedang menggarami lautan. Luar biasa usahanya, tapi hasilnya sama saja. Jadi, tekad saja tentu tidak cukup.
Bacalah halaman dirimu, eksploitasi dan jelajahi perasaanmu, jika perlu bicaralah dan selalu berbicaralah dengan dirimu, utarakan kalimat-kalimat yang membangunkannya, utarakan kalimat-kalimat yang mengobati lukanya. Agar engkau lebih mengenalinya, lebih dari orang lain. Mereka yang telah menemukan titik temu dalam penjelajahan itu, layaknya seorang pilot yang sedang menerbangkan pesawat dan sudah mengetahui di mana letak-letak tombol yang ia perlukan. Mereka yang telah menyelaraskan dorongan dengan tindakan, layaknya seorang manusia yang begitu memahami makna pertumbuhan, di mana segala sesuatu yang kecil adalah awal dari hal yang besar dan tidak perlu menjadi seorang raksasa jika berkeinginan untuk memiliki hati yang besar. Beri waktu sejenak untuk merenung, sejenak dalam setiap waktu yang diperlukan, agar tekad yang dibangun bisa begitu mesra bergandengan dengan tujuan.
Tidak mudah, berat, penuh dengan godaan dan harus berkali-kali untuk dicoba. Butuh kerja keras memang, tapi itu adalah ukuran yang pantas ketika kita tahu hasil akhirnya memang bagi kita sungguh berharga. Ambil tauladan dengan melihat kepantasannya pada dirimu, ajari dirimu dan petik hasilnya. Manusia tidak akan pernah bisa membuat ladangnya berbuah, jikalau sebelumnya tidak ada biji yang ditanam. Manusia tidak akan pernah bisa menyelesaikan membaca sebuah buku, jikalau satu halaman saja enggan untuk ia buka.
Sumber Oleh : Muda Arif (Presiden Mahasiswa UB 2011.)
0 komentar:
Posting Komentar