:
  • SELALU TERCEPAT DAN SELALU MEMAHAMI

    SELECT YOUR LANGUAGE


    Powered By Google Translate

    MENGENAL SEJARAH KEHIDUPAN HASAN AL-BANNA



    Foto : Hasan Al-Banna
    Hasan Al-Banna dilahirkan di kota Mahmudiyah, Distrik Bahirah Mesir pada bulan Oktober 1906 M. Orangtua beliau adalah seorang ulama besar pada masanya, yaitu Syaikh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, yang banyak berkarya di bidang ulumul… hadits. 

    Diantara karyanya yang terkenal adalah kitab “Al Fath Ar Rabbany li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad”. Disamping menulis kitab-kitab hadits, beliau juga bekerja memperbaiki jam.

    Sejak dini Hasan Al-Banna sudah ditempa oleh keluarganya yang taat beragama untuk meraih dan memperdalam ilmu di berbagai tempat dan majelis ilmu. Pertama kali beliau menggali ilmu di Madrasah Ar Rasyad, kemudian melanjutkan di Madrasah ‘Idadiyah di kota Mahmudiyah tempat beliau dilahirkan.

    Pada usianya yang masih muda, Hasan Al-Banna sudah memiliki perhatian yang besar terhadap persoalan da’wah. Ia pun mampu beraktifitas untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Bersama teman-temannya di sekolah, dibentuklah perkumpulan “Akhlaq Adabiyah” dan “Al-Man’il Muharramat”. Nampaknya sejak muda ia memang menginginkan da’wah Islamiyah tegak dan kokoh.

    Pada tahun 1920 Hasan Al-Banna melanjutkan pendidikannya di Darul Mu’allimin Damanhur, hingga menyelesaikan hafalan Qur’an diusianya yang belum genap 14 tahun. Beliaupun aktif dalam pergerakan melawan penjajah. Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum Kairo. Disinilah ia banyak mendapatkan wawasan yang luas dan mendalam. Pendidikannya di Darul Ulum diselesaikan pada tahun 1927 M, dengan hasil yang memuaskan, menduduki rangking pertama di Darul Ulum dan rangking kelima di seluruh Mesir dalam usianya yang baru menginjak 21 tahun.

    Semenjak di Darul Ulum Kairo, Hasan Al-Banna mendapatkan cakrawala berfikir lebih luas dan wawasan yang mendalam dan semakin giat dalam amal islami, bersama kawan-kawannya ia melaksanakan da’wah di berbagai tempat, baik di perkumpulan-perkumpulan, kedai kopi ataupun di klab-klab.

    Setelah menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum Kairo, ia bekerja sebagai guru Ibtidaiyah (setingkat SD) di Ismailiyah meskipun mendapatkan penawaran untuk melanjutkan pendidikan, namun beliau lebih menyenangi menjadi guru di Ismailiyah hingga 19 tahun beliau berkhidmat mengajar disana.

    Hasan Al-Banna menikah dengan putri salah seorang tokoh Ismailiyah Al Haj Husain As Shuly pada malam 27 Ramadhan 1351 H. Ia kemudian dikaruniai 5 ornag anak, 4 orang anak perempuan yaitu Wafa’, Sinai, Raja dan Hajar. Adapun anak lelaki beliau adalah Ahmad Saiful Islam. Hasan Al-Banna memberikan perhatian yang besar pada pendidikan keluarganya dengan adab dan akhlaq Islam. Hasil perhatiannya terhadap keluarga dapat kita lihat pada anak beliau yang sangat dihormati Ahmad Saiful Islam.

    Hal-hal yang mendasari berdirinya da’wah.
    Perpindahan Al Banna dari tempat kelahirannya Mahmudiyah ke Damanhur kemudian ke Kairo membuatnya banyak mengetahui permasalahan situasi dan kondisi umat Islam.

    Dimasa beliau tinggal di Mahmudiyah, daerah yang tenang dan menjaga tradisi Islam dan ajarannya, belum terlintas di benaknya bahwa di ibukota Mesir, Kairo, banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan yang menurutnya sangat parah. Belum pernah terbayangkan olehnya bahwa para penulis terkemuka, ulama dan para pakar ada yang bekerja demi kepentingan musuh Islam. Ulama sibuk dengan urusan pribadi dan masyarakat umum dalam keadaan bodoh.

    Surat kabar, majalah dan sarana informasi lainnya banyak memuat dan menyebarkan pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam dan pornografi. Ia pun melihat kemungkaran di mimbar politik, masing-masing partai hanya mementingkan golongannya dan cenderung menjadi ajang permusuhan dan perpecahan ummat.

    Masyarakat cenderung tergiring menjauhi nilai-nilai luhur, merasa asing dengan nilai-nilai Islam. Begitupun di Perguruan Tinggi yang tadinya disiapkan untuk menjadi lampu penerang, pusat kebangkitan dan mimbar peradaban, malah menjadi sumber malapetaka, pusat kerusakan dan alat penghancur sehingga banyak orang memahami bahwa Perguruan Tinggi dan Universitas adalah tempat revolusi perlawanan terhadap akhlaq, menentang agama dan memusuhi tradisi yang baik.

    Kondisi muslimin di luar Mesir pun sangat mengelisahkannya. Turki yang tadinya menjadi pusat Khilafah Islamiyah, pada tahun 1924 M sudah berubah menjadi negara sekuler. Selain Mesir, negeri-negeri Islam di seluruh penjuru bumi saat ini kebanyakan dalam keadaan terjajah, walhasil perekonomian ummat Islam pun dikuasai oleh orang-orang asing kaum penjajah.

    Semua itu disaksikan oleh Hasan Al-Banna, sementara kondisi dan situasi semakin memburuk sehingga menyusahkannya dan ia menjadi gelisah. Sampai beliau tidak dapat tidur selama 15 hari di bulan Ramadhan. Akan tetapi ia tidak putus asa, tidak menyerah bahkan semakin bersemangat dan bertekad untuk berbuat sesuatu agar bisa mengembalikan Khilafah Islamiyah, mengusir penjajah dan mengangkat martabat. Dengan kesungguhan, kerja yang tak mengenal lelah dan gerakan yang berkesinambungan, ia yakin cita-cita luhur itu dapat tercapai.

    Hasan Al-Banna mulai melakukan aktifitasnya dengan menghubungi para pemimpin, tokoh masyarakat dan para ulama. Ia ajak mereka untuk membendung arus kerusakan itu. Ia mendatangi Syeik Ad Dajawi salah seorang ulama Mesir terkemuka, lalu dijelaskannya permasalahan umat kepada Syeikh tersebut. Namun Syeikh ternyata hanya memperlihatkan keprihatinannya saja, menurutnya tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan saat ini dengan alasan bahwa Mesir sedang dijajah Inggris yang memiliki kekuatan dan persenjataan yang dapat menghadapi gerakan apapun yang menentangnya.

    Hasan Al Banna tidak ridho dan tidak puas dengan jawaban Ad Dajawi itu dan membuatnya nyaris lemah semangat. Kemudian Syeikh Ad Dajawi mengajaknya berziarah ke rumah Syeikh Muhammad Saad yang merupakan salah satu ulama terkemuka juga, disana banyak yang hadir selain Syeikh Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Saad dan Hasan Al-Banna. Kemudian Al Banna menjelaskan lagi permasalahan ummat namun Syeikh Ad Dajawi memintanya untuk berfikir, tapi Hasan Al Banna seorang pemuda yang bersemangat tinggi berpendapat waktu itu bukan saatnya untuk berfikir tapi untuk berbuat.

    Syeikh Muhammad Saad pada waktu itu menjamu para tamunya dengan kue-kue khas yang dibuat untuk bulan Ramadhan. Para tamu asyik menikmati makan dan minuman yang disuguhkan. Pemandangan ini membuat Hasan Al-Banna semakin bersedih dan prihatin. Ia memahami bahwa mereka dalam keadaan lalai dari kondisi Islam, maka ia berusaha menyadarkan mereka seraya berkata : “Wahai Syeikh! Islam sedang diperangi dengan dahsyat, sementara para tokoh, pelindung dan para pemimpin ummat sedang menghabiskan waktunya dengan kenikmatan seperti ini, apakah kalian mengira bahwa Allah tidak akan menghisab apa yang kalian sedang lakukan? Jika kalian tahu disana ada pemimpin Islam dan pelindungnya selain kalian, tunjukilah saya kepada mereka agar saya mendatangi mereka, mudah-mudahan saya dapati apa yang tidak ada pada kalian”.

    Perkataan Hasan Al-Banna menyentuh hati Syeikh Muhammad Saad, sehingga membuatnya menangis, hadirin yang lainpun turut menangis. Lalu Syeikh bertanya : “Apa yang mesti saya lakukan wahai Hasan …?”

    Hasan Al-Banna kemudian mengusulkan agar Syeikh mengumpulkan nama-nama para ulama dan zuama serta para pemuka, lalu mereka diundang untuk suatu pertemuan dalam rangka memikirkan dan memusyawarahkan apa-apa saja yang harus mereka lakukan. Sekalipun hanya menerbitkan majalah mingguan untuk mengimbangi majalah-majalah yang ada atau membentuk perkumpulan yang dapat menampung para pemuda.

    Syeikh setuju atas usulan Hasan Al-Banna itu dan ia mencatat sebagian nama ulama terkemuka seperti : Syeikh Yusuf Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Khudlori Husain, Syeikh Abdul Aziz Jawis, Syeikh Abdul Wahab Najjar, Syeikh Muhammad Khudlori, Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim, Syeikh Abdul Aziz Khuli, dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridho.

    Sementara dari kalangan tokoh terkemuka, seperti : Ahmad Taimur Pasya, Nasim Pasya, Abu Bakar Yahya Pasya, Abdul Aziz Muhammad Pasya, Mutawalli Ghonim Bik, dan Abdul Hamid Said Bik.

    Mereka semua diundang untuk suatu pertemuan dan terlaksanalah pertemuan demi pertemuan, sehingga dapat menerbitkan majalah “Al-Fath” yang dipimpin oleh As-Sayid Muhibuddin Khattib dengan pimpinan redaksinya Syeikh Abdul Baki Surur. Perkumpulan dan kegiatan ini terus berlangsung sampai Hasan Al Banna lulus kuliah dari Darul Ulum dan terus menggerakkan beberapa orang pemuda sehingga terbentuklah Jam’iyyah Syubanul Muslimin.

    Hasan Al Banna juga berhasil mengumpulkan beberapa ulama dan tokoh masyarakat terkemuka, dan terbentuklah Jama’ah Islamiyah yang menyeru untuk menghadapi arus gelombang kehidupan materialis, membatasi kegiatan maksiat dan kekufuran.

    Akan tetapi Hasan Al Banna melihat aktifitas jama’ah itu tidak cukup, dimana kegiatannya terbatas pada menyampaikan ceramah atau nasehat di masjid-masjid dan menulis artikel di majalah-majalah, akan tetapi siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak ke masjid yang sebenarnya mereka lebih berhak dari pada orang-orang yang aktif ke masjid. Siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak membaca koran dan majalah. Dengan demikian harus adanya kader yang siap berda’wah ke berbagai lapisan masyarakat.

    Hasan Al-Banna melihat bahwa yang dapat melaksanakan tugas berat itu adalah para mahasiswa Al-Azhar dan Darul Ulum. Ia kemudian mengumpulkan beberapa orang rekannya untuk berlatih berpidato, khotbah di masjid, berda’wah di warung-warung kopi dan tempat-tempat umum, kemudian pergi ke kampung-kampung. Diantara mereka yg terlibat dalam aktivitas ini adalah Syeikh Muhammad Madkur, Syeikh Hamid Askari dan Syeikh Ahmad Abdul Hamid.

    Setelah mereka berlatih dan siap terjun ke lapangan, Al Banna mengajak rekan-rekannya untuk berda’wah ke warung-warung kopi dengan memperhatikan tiga hal : Memilih tema yang sesuai; Sistem penyajian yang menarik; Memperhatikan waktu dan jangan sampai membosankan.

    Peristiwa berdirinya Jama’ah Al-Ikhwanul Muslimin.
    Pada bulan September tahun 1927 M, Hasan Al Banna diangkat menjadi guru SD di Kota Isma’iliyah, disanalah beliau memulai da’wahnya, di warung-warung kopi kemudian pindah ke masjid. Da’wah yang dilakukannya di warung-warung kopi ini bukan pengalaman yang pertama baginya, tapi beliau sudah terbiasa da’wah di tempat-tempat seperti ini, ketika beliau masih mahasiswa di Darul Ulum, Kairo.

    Da’wah Hasan Al Banna mendapat sambutan dari para pengunjung warung-warung kopi, sehingga sebagian diantara mereka bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukan demi agama dan tanah air.

    Setelah beberapa lama berda’wah di warung-warung kopi kemudian Hasan Al Banna pindah dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah). Di Zawiyah inilah beliau berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka agar meninggalkan kebiasaan hidup boros bermewah-mewahan. Para pendengar menyambutnya dengan baik.

    Hasan Al Banna juga memperluas interaksinya kepada seluruh unsur yang berpengaruh terhadap masyarakat, yaitu para ulama, Syaikh kelompok sufi, tokoh masyarakat (wujaha), dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.

    Pada bulan Dzul Qo’dah tahun 1347 H atau bulan Maret 1928 M, datanglah 6 orang laki-laki yang tertarik dengan da’wah Hasan Al-Banna, mereka adalah: Hafiz Abdul Hamid (tukang bangunan), Ahmad Al Hushor (tukang cukur), Fuad Ibrahim (tukang gosok pakaian), Ismail Izz (penjaga kebun), Zaki Al Maghribi (tukang rental dan bengkel sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir).

    Mereka berbicara kepada Hasan Al-Banna tentang apa yang harus mereka lakukan demi agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik mereka yang sedikit. Mereka pun meminta Hasan Al-Banna menjadi pimpinan mereka. Lalu mereka berbai’at kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka bermusyawarah tentang nama perkumpulan mereka. Imam Al Banna berkata : “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.

    Kemudian mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan yang sangat sederhana sebagai “Kantor Jama’ah” dengan mengambil nama Madrosah At Tahzab. Disanalah Hasan Al-Banna mulai meletakkan manhaj tarbawi bersama pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada waktu itu adalah :

    1. Al-Qur’anul Karim (tilawah dan hafalan).
    2. As Sunnah An Nabawiyah (menghafal sejumlah hadits).
    3. Pelatihan khutbah.
    4. Pelatihan mengajar untuk umum.

    Setelah beberapa bulan jumlah pengikut jama’ah menjadi 76 orang, kemudian terus bertambah.Dan mereka mendermakan harta mereka untuk da’wah sampai dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun diatasnya markas jama’ah: Darul Ikhwanul Muslimin, terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, dan nadi (tempat pertemuan) ikhwan.

    Pertumbuhan pesat da’wah ikhwan sejak awal.
    Pada bulan Oktober tahun 1932 M, Hasan Al-Banna dimutasi kerja oleh Pemerintah ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik Sabtiah. Perpindahan kerja ini menjadi peluang baginya untuk membawa da’wah ke Kairo ibukota Mesir.

    Di Kairo Hasan Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan Nafi No.24 sebagai Markaz Amm, dan ia tinggal bertempat di lantai atas selama 7 tahun da’wah di Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M.

    Markaz Amm mengalami beberapa kali pindah :
    1. Di jalan Nafi No.24
    2. Di rumah di Suqus Silah
    3. Di jalan Syamasyiji No.5
    4. Di jalan Nashiriyah No.13
    5. Di jalan Medan Atobah No.5 di perumahan wakaf
    6. Di jalan Ahmad Bik Umar di Hilmiyah

    Di Kairo disamping banyaknya partai politik yang bersaing untuk menjadi partai yang berkuasa, didapati pula banyak organisasi Islam dan non Islam. Di tengah-tengah kehidupan Kairo, da’wah ikhwan terus meluncur membuktikan keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut dan pendukungnya serta membuka syu’bah-syu’bah baru.

    Da’wah di Kairo belum sampai satu tahun Hasan Al-Banna telah mampu menyebarkan da’wah di seluruh kota Kairo dan telah membuka syu’bah-syu’bah baru lebih dari 50 kabupaten, dimana Ia mendatangi perkampungan negeri Mesir untuk berda’wah tidak mengenal letih, apalagi malas, hal itu dilakukannya disaat-saat musim liburan sekolah.

    Sekilas pintas pribadi Mursyid. 

    Profesi dan pekerjaannya..
    Hasan Al-Banna adalah guru SD (Ibtidaiyah), beliau disiplin melaksanakan tugasnya dengan optimal dan maksimal, Ia belum pernah terlambat datang ke sekolah (tempat kerja), karena merasakan ni’mat dan kebahagiaan dalam bekerja. Ia meyakini bahwa Allah telah menciptakannya menjadi pendidik.

    Hasan Al-Banna disenangi dan dihormati oleh murid-murid, para guru, kepala sekolah dan karyawan. Mereka pun mencintai da’wah Al Banna. Mereka berkeinginan membantunya, agar mempunyai banyak waktu untuk mengemban tugas da’wah, akan tetapi beliau bersikeras melaksanakan tugasnya dengan sempurna tanpa membebani orang lain.

    Bila ada ikhwan yang menelponnya ketika dia sedang mengajar di kelas, kemudian petugas memberitahukannya ada orang yang menelponnya, lalu ia berpesan kepada petugas tersebut : “Katakan kepadanya, saya sedang mengajar dan tidak dapat meninggalkan kelas sebelum selesai jam pelajaran”.

    Tugas Rumah.
    Hasan Al Banna melaksanakan tugasnya di rumah sebagai kepala keluarga, suami, ayah dengan baik, tidak pernah terjadi pertengkaran dalam rumahnya. Ia memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya, juga membantu pekerjaan istrinya di rumah sekalipun dengan kesibukan da’wahnya. Ia mengetahui kebutuhan rumah, dan tiap hari mencatat kebutuhan rumah tangga, sehingga ia mengetahui kapan disimpan barang seperti bawang, minyak dan lain-lain.

    Aktifitas Da’wah.
    Da’wah bagi Hasan Al Banna menjadi alasan hidupnya, dan semua kehidupannya da’wah, siang dan malam kesibukannya adalah da’wah. Da’wah memenuhi hati dan pikirannya, sehingga da’wah terlihat jelas pada pribadinya, bila berbicara, berbicara dengan da’wah dan untuk da’wah. Dan bila diam, diamnya da’wah, bila bergerak demi da’wah, cinta dan bencinya karena da’wah dan bila tertawa atau menangis karena da’wah.

    Hasan Al Banna tidak hidup untuk dirinya sendiri, tidak menyimpan uang, tenaga waktu dan kesehatannya kecuali untuk da’wah, semua gajinya dijadikan untuk da’wah, tidak dikurangi kecuali untuk kepentingan keluarga yang pokok, Ia mengambil standar minimal/terendah untuk hidupnya. Hasan Al Banna menjadikan hidupnya untuk da’wah, ucapan, diam, gerak, bangun, tidur, suka, benci, tulisan, bacaan, pikirannya semua untuk Islam.

    Ranjau-Ranjau Sepanjang Perjalanan Da’wah Imam Hasan Al-Banna.

    Ketika dua aktifis Ikhwan di Thontho, Muhammad Abdussalam dan Jamaluddin Fakih dituduh oleh rezim sebagai pelopor gerakan subversib dan ini adalah awal mihnah yang menimpa jamaah maka Hasan Al-Banna segera mengadakan lobi dengan lembaga bantuan hukum untuk mengadakan pembelaan secara maksimal dan mengerahkan seluruh ikhwan agar memiliki perhatian serta mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung bahkan Ia sendiripun selalu mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung dan sekaligus membantah tuduhan yang ditujukan kepada dua aktifis maupun kepada jamaah dengan lewat mass media internal maupun external.

    Dengan upaya yang maksimal dan dukungan seluruh fihak akhirnya kedua aktifis dinyatakan bersih dari tuduhan. Keprihatinan Hasan Al Banna terhadap peristiwa itu terungkap: “Sesungguhnya masalah ini membikin aku gelisah untuk tidur, karena aku tahu bahwa hal ini benar-benar telah dipersiapkan secara matang, mereka memiliki dan menguasai seluruh perangkatnya, mulai dari birokrasi, hakim, hingga saksi-saksi palsu dan apabila mereka berhasil meringkus kedua aktifis kita kedalam penjara dengan tuduhan subversif, maka da’wah al ikhwan akan punah dimata masyarakat”.

    Memang Hasan Al Banna mengajarkan kepada Al-Ikhwan untuk menjadi generasi yang pemberani dalam kebenaran, menganggap para penjajah adalah musuh dan bentuk perbudakan yang paling buruk sepanjang sejarah manusia, mereka begitu semangat dan berebut untuk mendapatkan izin menuju Palestina untuk meraih syahadah ketika DK PBB pada tahun 1948 secara resmi membagi tanah Palestina menjadi dua. Hasan Al-Banna sendiri dalam pidatonya dimuka khalayak ramai di hotel intercontinental mengatakan, “Pembagian Palestina menjadi dua adalah tanda bahwa dunia telah tidak waras”. Hal serupa juga pernah disampaikan kepada pemerintah Inggris lewat perwakilannya di Kairo tahun 1939 M, bahwa ummat Islam akan mempertahankan Palestina hingga titik darah terakhir.

    Hasan Al-Banna juga seorang yang lembut hati, hidupnya hanya untuk perhatian da’wah dan para ikhwannya, ketika seorang akhwat menderita sakit, beliau sendiri menghubungi dokter dan ketika sang dokter sedang menulis resep obat lalu beliau mencolek kepada Mahmud Abdul Halim untuk meminjam uang untuk menebus obat karena tak sepeser junaihpun ada ditangannya.

    Perlawanan para ikhwan menghadapi penjajah Inggris atas intervensinya terhadap kota Isma’iliyah awal perang dunia kedua 1939 M merupakan bukti keberanian mereka. Melihat keberhasilan Hasan Al Banna dengan jamaahnya yang cukup gemilang, dimana pada waktu yang relatif singkat fikroh ikhwan telah mampu mempengaruhi dan mewarnai di berbagai bidang ekonomi, sosial politik dan keagamaan, khususnya sikap masyarakat luas terhadap Palestina dan penjajah, maka Inggrispun sangat gerah terhadap Hasan Al Banna dan sangat berkepentingan untuk membunuhnya dan membubarkan jamaahnya.

    Untuk merealisasikan mimpi Inggris itu pada tanggal 10 Nopember 1948 M ‘tiga segitiga setan’ mengadakan pertemuan secara rahasia, mereka adalah Inggris, Amerika dan Perancis di Paid, memutuskan agar Al-Ikhwan Al-Muslimun segera dibubarkan. Sebulan kemudian tepat pada tanggal 8 Desember 1948 datang SK militer yang berisikan pembubaran terhadap jamaah.

    Rupanya pembubaran jamaah tidak berdampak terhadap aktifitas dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, justru pembelaan dari masyarakat luas semakin kentara dari hari ke hari, kewibawaan dan kemampuan Hasan Al Banna merekrut masyarakat luas sangat diakui lawannya, kemampuan membangkitkan semangat ummat, membuka hati yang tertutup, menghimpun kekuatan arus bawah sangat ditakuti lawan. Maka tidak ada lagi pilihan lain, kecuali harus merencanakan sebuah makar yang lebih besar yang belum pernah terpikir di benak mereka yaitu dengan membunuh pendirinya.

    Sejak itu rezim Faruq benar-benar memperhitungkan langkah untuk menguasai Hasan Al Banna :

    1. Dengan memenjarakan seluruh anggota Al-Ikhwan dan membiarkan Hasan Al Banna seorang diri agar masyarakat luas menganggap bahwa rezim masih memiliki rasa tolerir terhadapnya, padahal itu sebuah siksaan batin, setiap harinya hanya tangisan ribuan anak kecil dan rintihan ibu-ibu yang didengarnya, menengok kanan dan kiri tidak ada yang peduli seakan-akan seluruh rakyat telah diintimidasi oleh rezim, takut untuk melakukan sebuah kebaikan, siapa bersedekah akan mati, siapa menolong orang yang kelaparan dianggap pemberontak. Hasan Al-Banna hanya mampu mengumpulkan sebesar 150 junaih Mesir (+ $.140) setelah upaya sana sini dan itupun hasil hutang dari salah seorang teman.
    2. Setelah perasaan yang mencekam benar-benar menyelimuti seluruh rakyat Mesir, polisi intel segera memenjarakan adik kandung Hasan Al Banna, Abdul Basith yang merupakan anggota polisi, padahal adiknya ini bukan anggota Al-Ikhwan. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penangkapan terhadap Hasan Al-Banna kapan mereka menginginkannya. Sebenarnya Hasan Al-Banna telah mencium makar terhadap dirinya. Namun justru keberanian dan perasaan tidak takut mati semakin lebih nampak lagi, terutama setelah di suatu malam ia mimpi bertemu dengan Sayyidina Umar bin Khattab yang berkata padanya: “Wahai Hasan, kau akan dibunuh!”. Ketika Hasan Al-Banna mengajukan untuk tinggal di luar kota Kairo bersama saudaranyapun tidak diizinkan, hal itu semakin memperjelas makar yang dirancang oleh rezim untuk meringkusnya secara perlahan.
    3. Setelah seluruh persenjataan ikhwan, dan kekayaannya termasuk pistol dan mobil pribadi Hasan Al-Banna yang statusnya pinjaman itu disita oleh penguasa yang serakah, maka tinggal episode yang terakhir. Mereka merekayasa sebuah pertemuan antara Hasan Al-Banna dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban) pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 1949 M pukul 17.00. Namun hingga pukul 20.00 masalah yang diagendakan belum ada kejelasan yaitu salah seorang menteri yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah Ikhwan, lalu pulanglah ia dengan menantunya Ustadz Mansur dengan komitmen akan datang kembali esok harinya, namun tiba-tiba ia dapati suasana yang sungguh lain, di jalan protokol “Quin Ramses” yang biasanya ramai dengan hiruk pikuk lalu lintas lalu lalang manusia saat itu tak sebuah mobil dan seorangpun yang lewat kecuali sebuah taxi yang menongkrong di depan gerbang pintu Dar Asy Syubban. Toko-toko dan rumah-rumah makan yang berdekatan juga sudah tutup. Kecurigaan semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan kaki menuju jalan raya tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati, saat itulah peluru api meluncur sebagian mengenainya dan peluru yang lain mengenai Ustadz Mansur. Namun Hasan Al-Banna masih kuat untuk naik sendiri menuju gedung Dar Asy Syubban memutar telepon untuk meminta pertolongan ambulance, meskipun demikian ia kemudian terlantar di salah satu kamar Rumah Sakit “Qosr Aini” karena tak seorangpun dari perawat atau dokter yang berani menolongnya sekalipun banyak dokter muslim yang ingin merawatnya, namun kepala RS tidak mengizinkan atas perintah kerajaan. Dering telepon tak henti-hentinya untuk meyakinkan kematian Hasan Al-Banna hingga ia menemui robbul izzah dengan kepahlawanannya.


    Tepat hari Sabtu malam Minggu tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah. Terselimutilah di hari itu langit dunia dengan kesedihan yang mendalam karena kematiannya berarti hilangnya seorang pembela kebenaran penegak keadilan di tengah-tengah kelaliman.

    Pagi harinya hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian kepada orang tuanya Syaikh Ahmad Al Banna. Yang lebih menyedihkan rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk merawat jenazahnya dan berta’ziyah ke rumah shohibul musibah. Untuk menunjukkan keangkuhan serta kedengkiannya terhadap Hasan Al-Banna mereka susun penjagaan militer secara ketat yang siap untuk bertempur dan tank-tank yang seakan-akan menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat. Tidak seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam kecuali orang tuanya beserta kedua saudari perempuannya.

    Jamaah Al-Ikhwan yang telah didirikan diatas genangan darah Hasan Al-Banna dan di ukir dengan darah para syuhada akankah ditunggu oleh ummat seluruh dunia sebagai pahlawan penegak kebenaran, pendobrak kebatilan dan pembawa bendera Khilafah Islamiyah? Jawabannya tentu tergantung kepada kualitas nilai dan pengorbanan para penerusnya.



    Sumber : harakatuna.wordpress.com


    0 komentar:

    Posting Komentar