ilustrasi |
Oleh: Ina Salma Febriani
Hidup selalu menghadirkan dua sisi yang tidak dapat terelakkan, yaitu kebahagiaan dan kesedihan. Dua sisi itu Allah hadirkan sebagai bagian dari fase kehidupan.
Kesedihan yang terkadang membuat hidup tak nyaman, juga bahagia yang tak selalu menjadi kawan. Inti dari fase kehidupan itu adalah pendakian hidup yang senantiasa bermuara pada momen tak terbantahkan: kematian.
Kematian dilukiskan bak antrian dalam wawancara sebuah pekerjaan. Ia seolah hanya tinggal menunggu panggilan, sesuai urutan. Saat malaikat Zabaniyah datang tanpa undangan, jiwa dan raga pun tercabik, tertarik, tercekik, tiada kawan, hanya Tuhan sebagai sumber pertolongan.
“Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, pasti akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui, yang ghaib dan yang nyata lalu dia berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS Al-Jumuah: 8)
Cerminan dahsyatnya kematian seharusnya menjadi bahan renungan untuk tiap insan. Betapa kita benar-benar putus harapan saat kematian ada di hadapan. Kekayaan, jabatan, pasangan hidup nan menawan, dan segala hasrat keduniawian sirna saat panggilan itu menimpa kita secara tiba-tiba.
Semua yang bernyawa akan merasakan mati, begitu firman Allah mengingatkan kita dalam QS Al-Ankabut ayat 57. Pun Rasulullah SAW. juga menghadapi kematian merasakan sakitnya sakaratul maut.
Kematian Rasulullah dilukiskan Aisyah dengan berkucurnya keringat dari dahi, leher dan sekujur tubuh beliau. Rasulullah pun bersabda pada Aisyah, “Hai Aisyah, sesungguhnya ruh orang mukmin itu keluar dengan keringat dan ruh orang kafir keluar dari kedua rahangnya seperti nyawa keledai,” dan detik-detik kematian, beliau bersabda, “Kerjakanlah shalat, kerjakanlah shalat!” (HR. Thabrani)
Rasulullah—sebagaimana kita tahu telah terjamin masuk surga—hingga pada puncak sakaratul mautnya, apakah Allah mengundurkan waktu barang sejenak untuk tidak memerintahkan Izrail mencabut nyawanya? Apakah Rasulullah tidak merasakan sakit sama sekali?
Tidak. Sebagai manusia biasa, Rasulullah merasakan sakitnya saat ruh keluar dari tiap-tiap urat syarafnya—di luar konteks derajat kenabian.
Mengutip dari Imam Ghazali, dalam “Dzikrul Maut Wa Maa Ba’dahu”, beliau melukiskan betapa Rasulullah merasakan kepedihan yang sangat, bahkan tampak rintihan dari beliau hingga warna kulit beliau berubah. Dahi beliau juga berkeringat, hingga tarikan dan embusan nafasnya mengguncangkan tulang rusuk kanan dan kiri beliau sehingga orang-orang yang menyaksikan beliau menangis—berjuang menahan rasa sakit.
Dahsyatnya sakaratul maut pun membuat beliau terus berdoa tiada henti, “Ya Allah, ringankanlah atasku sakaratul maut,” adapun doa yang lain dalam riwayat Ibn Abd Dunya, “Ya Allah, sungguh Engkau mengambil ruh di antara urat-urat dan anak-anak jari. Ya Allah, tolonglah aku atas kematian dan ringankanlah.”
Esensi dari dua doa tersebut ialah bahwa Rasulullah lebih mengetahui pedih dan sakitnya sakaratul maut yang dideskripsikan bahwa kematian itu sama dengan tiga ratus kali tebasan dengan pedang.
Jika Rasulullah Saw saja meminta rukhsah pada Allah, lalu, bagaimana dengan kita? Adakah persiapan maksimal untuk menuju ke alam keabadian? Kembali Imam Ghazali menuturkan bahwa mengingat kematian dapat mengikis nafsu-nafsu duniawi yang penuh tipu daya ini.
Sebaliknya, tamak kepada dunia dan mengambilnya berlebihan, dapat melemahkan iman, menyisihkan zikir dari lisan, meruntuhkan baiknya perbuatan, hingga lalai terhadap kematian. Na’udzubillah. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang memiliki cukup perbekalan sehingga rindu akan kematian.
Sumber : republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar