Tidak sampai tiga minggu setelah tragedi runtuhnya menara kembar WTC akibat serangan teroris 11 September 2001, Heather Ramaha hadir di Masjid Manoa, Honolulu, Hawaii. Ia tidak sendiri. Beberapa wanita menyertainya. ”Asyhadu ala Ilaha ilallah, wa asyhadui anna muhammadarasulullah,” kalimat syahadat itu meluncur lancar dari mulut mereka. Sejak hari itu, Ramaha menjadi pemeluk Islam. Tak mau setengah-setengah, ia langsung mengenakan jilbab.
Pencarian Ramaha akan agama sudah berlangsung lama. Wanita asal California ini berasal dari keluarga Kristen yang kurang taat. Ia sempat mempelajari beberapa agama sebelum akhirnya menemukan Islam.
Ketertarikannya pada Islam pun terjadi secara tak disengaja. Saat itu ia menonton film di televisi berjudul Not Without My Daughter yang menceritakan tentang perempuan Amerika yang menjadi korban kekerasan suaminya, seorang lelaki Iran. Ia berjuang mendapatkan hak asuh ketiga anaknya.
Ia mulai mendatangi Islamic Center di kotanya sejak itu. Beberapa bulan setelah ia menimba ilmu di University of Hawaii, ia beranikan diri berpamitan pada keluarganya untuk menganut Islam. ”Banyak ketidakjelasan dalam agama lama saya. Islam sangat terbuka pada banyak ide,” ujarnya.
Kini, empat tahun setelah tragedi itu, gelombang pindah agama masih terjadi di salah satu tujuan wisata dunia itu. Bahkan, sebuah media lokal, menyebut, berislam kini sedang menjadi tren baru di kalangan mahasiswa dan masyarakat Hawaii. Hakim Ouansafi, presiden Muslim Association of Hawaii, menyatakan, mualaf di Hawai bertambah paling sedikit tiga orang perbulan. Bahkan dalam dua bulan terakhir ini, sebanyak 23 orang non-Muslim menyatakan diri berislam.
Kebanyakan mualaf, kata dia, adalah perempuan. Jika rasio nasional antara mualaf pria dengan wanita adalah 1 : 4, maka rasio mualaf pria-wanita di Hawaii adalah 1 : 2. Kebanyakan dari mereka, terutama yang di Honolulu, adalah keturunan Afrika-Amerika. ”Beberapa di antaranya menemukan Allah saat mereka dalam proses penyembuhan dari ketergantungan terhadap obat-obatan dan alkohol,” ujarnya.
Di wilayah West Coast lain lagi. Beberapa orang mualaf adalah anggota militer. Bila di Honolulu para mualaf itu sebelumnya mengaku tak beragama, maka di wilayah West Coast, umumnya mereka sebelum berislam adalah penganut suatu agama.
Ouansafi yang sebelumnya beragama Kristen ini menyatakan, para mualaf tertarik mempelajari Islam setelah mereka melihat ajaran Islam yang jauh dari apa yang diberitakan media. ”Bila di media disebut Muslim dekat dengan teroris, setelah kenal lebih dekat, Islam jauh dari semua tudingan itu,” ujarnya seraya menambahkan, di semua agama ada umatnya yang jahat, namun bukan berarti agama itu jahat.
Cromwell Crawford, pimpinan Departemen Agama di University of Hawaii-Manoa, mempunyai penjelasan mengenai tren pindah agama di Hawaii ini. Menurut dia, efek dari Tragedi 11 September terhadap psikologis bangsa adalah, seluruh warga jadi memperhatikan tentang kefanaan hidup ini. ”Mood pun jadi berubah, para lajang mencari ikatan, keluarga menjadi semakin erat, dan orang kembali mencari pegangan agama,” ujarnya.
Tak hanya Islam yang diuntungkan dengan kondisi ini, kata dia, agama lain juga. ”Mereka yang semula tak beragama, kini mencari pegangan agama.” Mengapa kebanyakan wanita? ”Dalam mengekspresikan mood ini, wanita lebih mendalam ketimbang pria,” ujarnya, ”Pergilah Anda ke gereja, dan Andapun akan banyak menjumpai kaum wanita di sana ketimbang pria.”
Senada dengan Crawford, Ouansafi juga menolak fenomena itu disebut sebagai pindah agama. ”Mereka hanya kembali ke fitrahnya,” kata dia. Menurut dia, seorang mualaf akan diampuni segala dosanya di masa lampau dan akan kembali terlahir seperti bayi.
Seremoni pegngislaman juga jauh dari kesan pemaksaan. Sebelumnya, calon mualaf diwawancarai mengenai pengetahuan mereka tentang Islam, dan pertanyaan “wajib”: apakah mereka berislam dengan sukarela atau paksaan? Mereka lantas dipahamkan mengenai Yesus dalam Islam: bukan tuhan, melainkan salah seorang nabi Allah di samping Ibrahim/Abraham, Musa/Moses, Muhammad, dan lainnya.
Empat tahun setelah berislam, Ramaha kini menjadi karyawati sipil di Angkatan Laut AS di pangkalan Pearl Harbor sebagai perawat gigi. Aturan kantor yang melarangnya berjilbab ditepatinya, namun di luar kantor, ia tetap sebagai Muslimah berjilbab. Suaminya, seorang tentara angkatan laut, adalah seorang Muslim. n tri/Honolulu Star Bulletin
Berkat Kiprah Mahasiswa Asal Asia
Sebagai daerah tujuan wisata dan perdagangan, Hawaii menjadi pusat pertemuan aneka kebudayaan dan agama. Islam sudah lebih seabad hadir di sana. Tetapi, organisasi Muslim baru ada di wilayah ini sejak akhir tahun 1960-an. Cikal bakalnya digagas oleh para mahasiswa asal Asia yang tengah menimba ilmu di negara itu.
Imam dan pimpinan spiritual Muslim Hawaii pertama adalah pria kelahiran Cina, pensiunan diplomat karir yang sebelumnya bertugas di Arab Saudi dan Kuwait. Dia adalah Haji Saad Abdul Rahim Shih Ming Wang.
Lulusan Universitas Al Azhar Kairo ini menjadi imam pertama di Hawaii. Saat itu, belum ada satu masjidpun yang berdiri di wilayah ini.
Baru tahun 1979, Masjid Manoa diresmikan penggunaannya. Masjid itu asalnya adalah sebuah bangunan megah yang dibeli atas donasi keluarga kerajaan Arab senilai 500 ribu dolar AS. Karenanya, tak ada aksen Islam yang tercermin dari bangunan itu.
Sejarah Islam di Hawaii dikumpulkan lagi oleh Mona Darwich, dosen senior di University of Hawaii, dalam tesisnya yang berjudul Inside and Outside the Mosque: Oral Histories of Hawaii’s Muslims. Dia menuliskan tesisnya setelah mengumpulkan banyak bahan pustaka dan mewawancarai 33 orang nara sumber. Ia juga mendokumentasikan puluhan pemuda yang tengah belajar Islam dan memfilmkan kisah Achmed Djuneid, seorang remaja Muslim di Hawaii.
Wawancara juga dilakukannya melalui email para mahasiswa yang dulu mendirikan organisasi Muslim Hawaii sudah kembali ke negaranya masing-masing. Dua di antaranya adalah Dr Makhdoom Shah, asal Kuwait dan Dr Pramudita Anggraita, asal Indonesia, yang kini menjabat sebagai Deputi Bidang Penelitian Dasar dan terapan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).
Menurut catatan Darwich, Muslim Association of Hawaii (MAH) sebelumnya bernama The Muslim Student Association (MSA) digagas sekitar 30 tahun lalu. MSA didirikan oleh para mahasiswa Muslim University of Hawaii di Manoa. Mereka berasal dari India, Pakistan, Afghanistan, Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah.
Aktivitas mereka dipusatkan di sebuah cottage di East West Center, sebelum Masjid Manoa terbeli.
Pada tanggal 23 Juli 1979, MSA dikukuhkan sebagai organisasi yang merepresentasikan kaum Muslim
Hawaii. Pada saat itu, anggota MSA bukan lagi hanya mahasiswa saja, tetapi 90 persennya justru masyarakat Hawaii. ”Nama student tetap dipakai karena Muslim meyakini selama mereka hidup mereka terus “belajar” untuk menjadi Muslim yang baik,” Makhdoom Shah, seperti diceritakan Darwich.
Pendiri awal organisasi ini antara lain adalah Najibullah Lafraie, James Abdullah Raushy, Saad Abdul Rahim Shih Min Wang, Abdul Haq, Makhdoom Shah, dan Pramudita Anggraita. Mereka lantas berjuang mengumpulkan sumbangan untuk mendirikan Islamic Center Hawaii. Star Bulletin menulis, James Abdullah Roushey menemui Pangeran Abdulaziz Bin Fahad Al-Faisal, putra Raja Arab Saudi saat itu, mengajukan proposal pembangunan pusat kebudayaan islam terpadu di Hawaii. Keluarga kerajaan Arab Saudi setuju.
Sejak saat itu, Muslim Hawaii memiliki masjid dan Islamic Center yang megah.
Melihat perkembangan Islam yang demikian pesat, para pengurus MSA sepakat untuk mengganti nama organisasinya menjadi The Muslim Association of Hawaii (MAH) pada tanggal 4 Februari 1997. Namun nama MSA sebagai cikal bakal perkembangan Islam di Hawaii tidak terhapus dari sejarah.
Sumber : the.honoluluadvertiser.com
0 komentar:
Posting Komentar