Leila Ahmed |
WASHINGTON - Ada dua alasan mengapa muslimah 'ngotot' mempertahankan jilbab yang dikenakannya meski ada aturan hukum yang melarangnya. Alasan itu yang selanjutnya perlu dipahami oleh negara-negara yang melarang muslimah mengenakan jilbab.
Kira-kira begitulah isi buku "A Quiet Revolution: The Resurgence Veil" (Revolusi Diam : Kebangkitan Jilbab) karya Leila Ahmed, profesor Harvard Divinity School. Buku itu selanjutnya mendapat penghargaan dari University of Louisville untuk bidang agama.
Ini merupakan penghargaan pertama bagi muslimah yang diberikan oleh kampus tersebut. Menurut Ahmed, setiap Muslimah ingin menunjukan rasa bangga sebagai muslim tanpa perlu ada prasangka terhadapnya.
"Jilbab merupakan bentuk penegasan identitas mereka," ucapnya seperti dikutip dari washingtonpost.com, Rabu (5/12).
Alasan lain, mereka menilai jilbab merupakan bentuk kewajiban sebagai Muslim. "Sebagian muslimah percaya Allah SWT mengharuskan mereka untuk mengenakannya," ucap dia.
Di berbagai belahan dunia, masalah jilbab menjadi perdebatan serius. Turki misalnya, semenjak PM Turki, Reccep Thayib Erdogan berkuasa, masalah ini kembali menghangat. Di Barat, sejumlah negara seperti Prancis, Belgia, dan Rusia melarang penggunaan jilbab.
Wilayah Asia Tengah juga memberlakukan kebijakan serupa.
Berita Republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar