Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Amin anak kuliahan semester awal fakultas ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta terkenal, dengan antusias dan kagum terhadap ilmu yang baru dipelajarinya mencoba mengingat dengan mengulang pelajarannya dan mengatakan kepada saya bahwa prinsip dasar ekonomi klasik dari Adam Smith yakni ; manusia pada dasarnya adalah homo economicus yang selalu ingin memperoleh manfa’at sebesar-besarnya dengan harga atau pengorbanan yang sekecil-kecilnya.
Belum lagi teori “invisible hand” yang dikenalkan oleh Adam Smith di dalam bukunya The Wealth of Nation (1776). Pandangan tersebut mengatakan bahwa pasar yang baik adalah pasar yang dibentuk oleh kompetisi antara penawaran dan permintaan. Agar tercipta harga yang wajar sebagai wujud keseimbangan dari kompetisi bebas antara kekuatan penawaran dan kekuatan permintaan.
Biarkan pasar digerakkan oleh “kekuatan tersembunyi” yang akan menyeimbangkan antara supply dan demand. Teori ini berujung pada membiarkan warga atau masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi mandiri tanpa campur tangan pemerintah. Sedangkan teori ekonomi sosialis idea dari Karl Max justru sebaliknya ; adalah dengan diaturnya aktivitas ekonomi oleh pemerintah agar tidak ada penumpukan kekayaan kepada salah satu golongan saja. Dari pertentangan itulah dikenal teori ekonomi liberalis dan teori ekonomi sosialis.
Dalam konteks bahasan di atas mari kita kaji bagaimana Rasulullah SAW mengelola ekonomi ummat. Ada riwayat hadits yang disampaikan oleh Anas ra, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :
“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “Ya Rasulullah hendaklah engkau menentukan harga”. Rasulullah SAW. bersabda: ”Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kedzoliman dalam darah maupun harta.”
Dengan hadits ini terlihat apa yang mendasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah. Rasulullah menolak tawaran menetapkan harga dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya. Ucapan Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Alloh yang sunnatullah atau hukum “supply and demand”.
Lalu bagaimana islam mengatur sistem untuk kesejahteraan ummat dengan konsep ZIS (zakat, infaq dan shodaqoh). Konsep ZIS membuat keseimbangan ekonomi pada ummat, karena yang kaya terkena aturan zakat dan yang miskin berhak menerima. Konsep ini jauh berbeda dengan system pajak yang tidak mengenal kaya dan miskin. Dan yang menarik khusus untuk zakat ternak, Islam menerapkan sistem yang progresif untuk memberikan insentif meningkatkan produksi. Makin banyak ternak yang dimiliki makin kecil “rate” zakat yang harus dibayar. Ia akan mendorong tercapainya skala produksi yang lebih besar dan terciptanya efisiensi biaya produksi. Sistem progresif ini hanya berlaku untuk zakat ternak karena bila terjadi kelebihan pasokan, ternak tidak akan busuk seperti sayur atau buah-buahan. Harga tidak akan jatuh karena kelebihan pasokan.
Subhanallah. Belum lagi sistem dinar dirham. Nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya, tidak terjadi kelebihan permintaan atau penawaran sehingga nilai uang stabil. Karena jika berlebih bisa dirubah kembali kepada emas atau perak, tidak seperti uang zaman sekarang. Dalam konteks ini seorang ustadz berseloroh jika dinar dan dirham dibakar ia tetap menjadi emas atau perak. Tetapi jika uang kita dibakar, akan hangus dikarenakan bahan kertas yang sebenarnya nilainya imajiner. Tidak pasti, masya Allah.
Juga bagaimana ekonomi islam mengatur agar tidak adanya golongan-golongan orang kaya atau pemodal yang menimbun barang atau hartanya sehingga menimbulkan ketidakseimbangan. Larangan untuk menimbun uang dan barang tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam ayat ; “..dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka ; inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS. At Taubah, 9 : 34-35)
Ayat ini menyebutkan dua macam yang dihimpun, yaitu emas dan perak selain makna konkrit tapi juga ini bermakna simbol karena biasanya kedua hal itulah yang menjadi ukuran nilai atau yang umumnya disimpan.
Menurut ulama emas dan perak pulalah yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai dasar penetapan nilai uang dan alat tukar dalam perdagangan. Ayat ini tidak mengecam semua pengumpul harta apalagi yang menabungnya untuk masa depan. Kecaman ditujukan terhadap mereka yang menghimpun tanpa menafkahkannya di jalan Allah, yakni tidak melaksanakan fungsi sosial dari harta antara lain zakat, infaq dan sedekah. Membuat lapangan pekerjaan dan sebagainya.
Dan lagi hukum riba yang dilarang oleh Allah SWT. Riba ada dua macam ; nasi’ah dan fadhl. Riba nasi’ah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Jika kita ingin melebihkannya dikarenakan hadiah atau tanda terima kasih secara tulus itu tidaklah mengapa. Ini berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah, “ia pernah mengutangi Nabi SAW dan setelah berselang beberapa waktu ia mendatangi Nabi, beliau membayar dan melebihkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Mesti digaris bawahi, bahwa penambahan tidak disyaratkan atau diminta ketika akad pinjam meminjam. Riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan yang sejenis, tetapi kadar yang berbeda atau lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya.
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Ini karena substansi keduanya sangat berbeda. Jual beli adalah transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak, sedang riba merugikan salah satunya. Keuntungan jual beli diperoleh melalui kerja manusia, sedangkan keuntungan riba bukan pada kerja manusia. Jual beli mengandung unsur aktivitas dan untung rugi, kepandaian mengelola, sedang riba tanpa aktivitas dan tidak mengenal rugi. Belum lagi larangan transaksi talaqqirukban, yaitu mencegat penjual dari luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan harga orang-orang di dalam kota. Dalam masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra. Ada juga sistem pengawasan pasar, seperti pengawasan pada susu oplosan yang dicampur dengan air, daging dan sebagainya.
Kembali kepada Amin anak kuliahan, setelah mendengar penjabaran tersebut mulutnya agak terbuka menganga. Karena jauh sebelum yang disebut bapak ekonomi modern Adam Smith dengan teorinya, atau Karl Max dengan teorinya, ekonomi islam pada zaman Rasulullah SAW 14 abad yang lalu atau 11 abad sebelumnya atas bimbingan Allah SWT telah membuat sistem ekonomi yang sangat detail dan mengagumkan, sekaligus masih “up to date” pada zaman sekarang. Dari sistem itulah sebutan ekonomi syariah dikenal saat ini.
Mendengar penjabaran dari tulisan di atas semoga Amin, anda, saya dan kita semua tidak terlalu menganga membacanya karena hati-hati lalat masuk mulut, hap!
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Sumber :
Erick Yusuf (pemrakarsa Training iHAQi – Integrated Human Quotient)
http//www.ihaqishop.com – twitter @erickyusuf – erickyusuf@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar