:
  • SELALU TERCEPAT DAN SELALU MEMAHAMI

    SELECT YOUR LANGUAGE


    Powered By Google Translate

    Mengkaji Hukum Asuransi Haji ?! [1]


    Jamaah Haji Melaksanakan Tawaf.

    Penyelenggaraan asuransi konvensional masih bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

    Setiap tahun lebih dari 200 ribu umat Islam asal Indonesia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Kematian serta kecelakaan merupakan risiko yang harus siap dihadapi oleh jamaah haji. 

    Untuk meringankan beban risiko yang dihadapi jamaah dan keluarganya, bergulirlah wacana asuransi haji. 

    Pertimbangnnya, setiap calon jamaah haji mengharapkan semua proses pelaksanaan ibadah haji termasuk asuransinya sesuai dengan syariah agar mendapatkan haji mabrur.

    Lalu asuransi seperti apa yang cocok bagi jamaah haji? Terlebih, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) menyatakan, penyelenggaraan asuransi konvensional masih bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.  

    Atas pertimbangn itulah, maka DSN MUI menetapkan Fatwa No: 39/DSN-MUI/X/2002

    Tentang Asuransi Haji. “Asuransi yang digunakan harus sesuai dengan syariah,” ujar Ketua Umum DSN MUI, KH MA Sahal Mahfudh dalam fatwa tersebut. 

    Seperti apakah asuransi haji yang sesuai dengan syariat itu? Para ulama di Tanah Air yang tergabung dalam DSN MUI menetapkan:

    Pertama, asuransi haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional. Kedua, asuransi haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

    Ketiga, asuransi haji haruslah berdasarkan prinsip syariah bersifat ta’awuni (tolong menolong) antar sesama jamaah haji. 

    Keempat, akad asuransi haji adalah akad tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jamaah haji yang terkena musibah. 

    Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru’ dengan asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah.

    Fatwa itu juga menetapkan ketentuan khusus terkait asuransi haji ini. Ketentuan khusus itu antara lain:

    Pertama, Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Kedua, jamaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarru’ yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Ketiga, premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.

    Keempat, asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru’ sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syar’iah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru’.

    Kelima, asuransi syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar. 

    Keenam, asuransi syariah berkewajiban membayar klaim kepada jamaah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

    Media Republika


    0 komentar:

    Posting Komentar