Diriwayatkan, ada seorang pemuda sedang berjalan di pinggir sungai. Dia menemukan buah anggur yang hanyut di sungai. Ia lantas mengambil buah itu dan memakannya hingga masuk ke perutnya.
Namun, belum habis buah anggur itu dimakan, sang pemuda menyadari bahwa buah itu tidak halal baginya, sebelum sang pemilik buah menghalalkannya.
Sang pemuda ini pun menyusuri sungai dan mencari pemilik kebun anggur itu. Dalam perjalanannya, akhirnya dia berjumpa dengan sang pemilik kebun. Sang pemuda lantas menyampaikan maksudnya dan memohon izin kepadanya untuk mengikhlaskan buah yang sudah dimakannya. Tapi, sang pemilik kebun tak mau menghalalkannya.
Sang pemuda ini terus memohon kepada pemilik kebun itu. Bahkan, ia rela menjadi penjaga kebun itu walau tanpa diupah asal dirinya mendapatkan kehalalan dari buah yang sudah dimakannya. Sebab, ia khawatir, buah anggur yang tidak halal itu bisa menjadi penghalang dirinya masuk ke surga.
Akhirnya, sang pemilik kebun mempekerjakan si pemuda sebagai penjaga kebun. Setelah beberapa waktu, dan melihat kesungguhan si pemuda menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan, sang pemilik kebun ini berniat menghalalkan buah anggur itu.
“Namun dengan satu syarat,” ujarnya. Sang pemuda ini pun semringah, dan dia siap memenuhi syarat itu asal mendapat ridha dari sang pemilik kebun. “Syarat itu adalah, engkau harus menikah dengan anakku. Ia buta, tuli, bisu, dan lumpuh,” ujar pemilik kebun.
Mendengar hal itu, bukannya gembira, hati si pemuda justru makin gelisah. Sebab, dirinya akan mendapatkan istri yang tidak bisa apa-apa, yakni buta, tuli, bisu, dan lumpuh pula. Namun, demi halalnya anggur yang sudah masuk ke perutnya, ia pun menerima syarat itu.
Singkat cerita, dinikahkanlah si pemuda dengan anak pemilik kebun itu. Sesudah akad nikah, si pemuda dipersilakan menemui istrinya. Alangkah terkejutnya si pemuda, sebab perempuan yang ada di kamar itu, justru tidak buta, tidak tuli, tidak bisu, dan juga tidak lumpuh. Ia bisa melihat, mendengar, berbicara, dan berjalan.
Mengetahui sang suami kebingungan, istrinya kemudian menjelaskan maksud orang tuanya yang menyatakan dirinya buta, tuli, bisu, dan lumpuh. “Ayahku benar. Aku bisu, karena tidak pernah membicarakan hal-hal yang buruk. Aku tuli karena tidak pernah mendengar hal-hal yang haram. Aku buta karena tak pernah melihat kemaksiatan. Dan aku lumpuh karena tak pernah pergi ke tempat maksiat,” ujarnya.
Mendengar hal itu, maka gembiralah hati sang pemuda. Ternyata, ketulusan dan keikhlasannya untuk senantiasa mencari makanan yang halal telah berbalas dengan kebaikan. Ia pun memuji kebesaran Allah SWT. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang ulama besar. Dialah Imam Hanafi. Dalam riwayat lain disebutkan, sang pemuda itu adalah ayah dari Imam Syafii.
Dari cerita ini dapat kita ambil hikmah bahwa orang yang senantiasa mencari rezeki halal, niscaya akan berbuah pada kebaikan. Rasul SAW bersabda; “Akan datang suatu masa yang ketika itu manusia tidak lagi menghiraukan sumber pendapatannya, apakah berasal dari yang halal atau dari yang haram.” (HR Bukhari dan Nasai). Wallahu a’lam.
Oleh Syahruddin El-Fikri
0 komentar:
Posting Komentar