:
  • SELALU TERCEPAT DAN SELALU MEMAHAMI

    SELECT YOUR LANGUAGE


    Powered By Google Translate

    Hukum Islam Setelah Indonesia Merdeka ! [1]



    Fase Formatisasi (1945 – 1998)

    Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Kedudukan hukum Islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti. Namun hal itu tidak berarti bahwa hukum Islam kembali pada kondisi reception in complexu. Lamanya Belanda menjajah mengakibatkan perubahan struktur politik dan sosial bangsa Indonesia. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum Islam di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi upaya formatisasi terhadap hukum Islam, sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai ideologi negara.


    Sejak masa menjelang kemerdekaan keinginan kaum nasionalis Islam untuk memberlakukan hukum Islam begitu kuat. Meskipun untuk tujuan itu mereka harus berhadapan dengan kaum nasionalis sekuler. Hal ini terlihat dalam perdebatan di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) maupun sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perdebatan tersebut terjadi ketika para foundingfathers berusaha merumuskan dasar negara Indonesia.

    Pada fase ini hukum Islam mengalami dua periode, yaitu periode persuasive-sources dan authoritative source. Periode persuasive adalah periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya.[33] Masa ini berlangsung selama empat belas tahun, yakni sejak diterimanya Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI hingga keluarnya dekrit presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959. Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi grondwetinterpretatie UUD 1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta,[34] namun hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).[35] Berdasarkan pasal ini pula, maka dibentuklah departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946.[36]

    Periode kedua, authoritative source dimulai ketika Piagam Jakarta ditempatkan dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Julu 1959. Dalam konsiderans Dekrit Presiden disebutkan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”. Dekrit Presiden selain menetapkan Piagam Jakarta di dalam konsiderans, juga menetapkan dictum tentang berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu peraturan perundangan yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama.[37] Hal ini berarti Piagam Jakarta, termasuk ketujuh katanya, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945.

    Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan.

    Memasuki masa orde baru, pembangunan nasional dalam berbagai bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara[38] yang merupakan haluan pembanguan nasional menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum Pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama (termasuk hukum Islam) sebagi umsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi hukum Islam dalam hukum nasional.   

    Formatisasi hukum Islam dilakukan dengan upaya mentransformasikan hukum Islam ke dalam aturan perudangan. Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum Islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum Islam yang bersifat nasional, yaitu UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Undang-undang ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975. Sebagai produk politik, undang-undang perkawinan ini merupakan kompromi berbagai kekuatan politik dengan aspirasi hukumnya masing-masing. Pasal 2 ayat (2) UU no.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing.  Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (pada masa kolonial) kepada hukum yang berdasar keyakinan agama.

    Institusi peradilan Islam juga menempati posisi yang kuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Penjelasan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 menetapkan bahwa peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara merupakan peradilan khusus. Kompetensinya menangani perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan-golongan tertentu. Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat Islam.[39]

    Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas dengan ditetapkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum perkara tertentu.[40] Dalam Bab III pasal 49-53 kewenangan Peradilan Agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, serta wakaf dan sadakah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah).

    Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hukum materiil sebagai pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim Peradilan Agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya.[41] Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang sama. Kondisi ini memunculkan pemikiran untuk menyusun kodifikasi hukum Islam sebagai panduan dalam menangani perkara.

    Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah putusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Pengembangan Hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur kitab fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.  Setelah draft disetujui, maka dikeluarkanlah Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 sebagai dasar penyebarluasannya. Inpres ini kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Format KHI teragi ke dalam tiga buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan, dan buku tiga tentang hukum perwakafan.

    Keinginan umat Islam untuk memberlakukan hukum Islam semakin menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majlis Ulama Indonesia. Di samping itu juga muncul aksi-aksi sosial untuk menegakkan hukum Islam, seperti pelarangan SDSB, kebebasan berjilbab di sekolah dan kantor dan lain-lain. Disamping itu muncul perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum Islam, seperti UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

    Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat Islam saja. Hukum Islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan, dan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam). Formatisasi yang berupa hukum khusus terlihat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.


    DAFTAR PUSTAKA
    • Adurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1991
    • Ahmad Azhar Basyir, “Nilai-nilai Dasar Hukum Nasional”, dalam Artidjo Al-Kostar (ed), Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: FH UII, 1997
    • Amrullah Ahmad et.al., Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996
    • Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985
    • Ario Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,  1988
    • Bolland, BJ., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Graffiti Press, 1995.
    • C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Julid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
    Penyusun : Zainul Hakim



    0 komentar:

    Posting Komentar